Headlines

Tingkat Efisiensi dan Efektivitas BUMN Pertamina Turunkan Laba Bersih

Pada Tahun 2019, pendapatan usaha Pertamina yang tercatat adalah sejumlah US$54,79 Miliar atau senilai Rp798,40 Triliun dengan kekayaan (asset) sejumlah US$67,08 Miliar atau sejumlah Rp977,489 Triliun, serta laba bersih sejumlah US$2,52 Miliar atau setara Rp36,7 Triliun. Dengan demikian, total beban biaya operasional dan administrasi ditambah biaya bunga dan pembayaran pajak adalah sejumlah Rp761,7 Triliun atau 95,4 persen dari pendapatannya.

Sedangkan pada Tahun 2020, pendapatan yang berhasil diperoleh Pertamina adalah sejumlah US$41,47 Miliar atau senilai Rp604,30 Triliun dan membukukan laba bersih US$1,05 Miliar atau setara dengan Rp15,3 Triliun (asumsi nilai tukar US$1= Rp14.572).

Total beban biaya Pertamina adalah sejumlah Rp589 Triliun atau 91,9 persen dari pendapatan, yang berarti terdapat penurunan beban biaya Rp172,7 Triliun atau menurun sebesar 22,7 persen dibandingkan beban biaya Tahun 2019. Namun penurunan beban biaya Tahun 2020 yang sebesar 3,5 persen dibandingkan beban biaya Tahun 2019 ternyata tidak mampu meningkatkan laba bersih, sebaliknya laba bersih turun drastis.

http://kabardenpasar.com/utama/bi-bali-ungkap-transaksi-qris-tembus-rp75-miliar/

Dalam laporan keuangan yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut, membuktikan bahwa realisasi laba bersih perusahaan anjlok sebesar 58 persen dibanding realisasi laba bersih pada 2019 yang sejumlah US$2,52 Miliar atau sejumlah Rp.36,7 Triliun. Jumlah pendapatan Pertamina pun semakin menurun jika dibandingkan dengan realisasi yang dicapai 2 (dua) tahun sebelumnya (2019) yang berarti mengalami penurunan signifikan sejumlah US$13,32 yaitu senilai Rp194,10 Triliun atau turun sebesar 24,32 persen.

Ada 2 (dua) kemungkinan yang bisa terjadi atas hubungan yang tidak positif antara tingkat efisiensi dan efektifitas dari beban biaya, diantaranya adalah besarnya harga pokok produksi atau penjualan dan atau meningkatnya beban pembayaran utang perseroan.

Tentu berbagai justifikasi terkait hal itu juga sudah disiapkan untuk disampaikan kepada pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), tak terkecuali alasan pandemi Covid-19. Walaupun begitu, dengan beban yang menurun ternyata Pertamina tidak mampu menaikkan hasil operasinya menjadi laba bersih yang meningkat. Oleh karena itu, efisiensi dan efektifitas yang dihasilkan selama 3 (tiga) tahun terakhir bukan berasal dari semakin efisien dan efektifnya pengelolaan Pertamina, tapi lebih disebabkan oleh dampak faktor harga keekonomian minyak mentah dunia serta ketiadaan penyesuaian harga BBM disektor hilir.

http://kabardenpasar.com/news/ombudsman-bali-serahkan-sertifikat-pelayanan-publik-cegah-maladministrasi/

Apabila tidak ada perubahan kebijakan terhadap pengelolaan dan diskresi bagi manajemen BUMN Pertamina, maka peningkatan efisiensi dan efektifitas yang dijalankan oleh BUMN Pertamina tidak akan berpengaruh besar pada perolehan laba bersih disebabkan oleh meningkatnya beban pembayaran utang dan Harga Pokok Produksi/Penjualan (HPP). Kemampuan membayar utang akan semakin menurun jika tidak ada diskresi dalam pengelolaan beban-beban Pertamina terkait HPP dan harga jual BBM ke konsumen. Apalagi kalau karyawan Pertamina juga menuntut adanya perbaikan remunerasi yang kemudian meningkatkan biaya tetap perusahaan, otomatis dewan direksi dan komisaris yang mesti berkorban. (*)

Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *