Wagub Cok Ace: Saatnya Hentikan Penggunaan Bahan Bakar Fosil, Beralih EBT
Denpasar – Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace menegaskan dalam upaya mitigasi perubahan iklim, perlu dilakukan langkah-langkah strategis pengurangan emisi gas rumah kaca dimana salah satunya adalah meminimalisir dan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.
Hal itu sebagai bentuk komitmen Bali terhadap mitigasi perubahan iklim khususnya terkait transisi energi baru dan terbarukan atau (EBT).
Wagub Cok Ace menyampaikan itu saat menerima Kunjungan Resmi Sekretaris Negara dan Utusan Khusus untuk Aksi Iklim Internasional Republik Federal Jerman membahas kerja sama bilateral tentang perlindungan iklim nasional, global, dan transisi energi pada Jumat, 8 Juli 2022 bertempat di Intercontinental Hotel-Sanur.
“Sudah saatnya kita beralih menggunakan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya,” tukas Wagub Cok Ace.
Duta Besar Jerman Ina Lepel membuka dialog dengan membahas bagaimana komitmen Bali terhadap mitigasi perubahan iklim, khususnya terkait transisi energi baru dan terbarukan atau (EBT).
Kemudian, Wagub Cok Ace mengatakan,perkembangan pembangunan di Bali khususnya di bidang pariwisata membawa dampak yang sangat penting terhadap kelangsungan dan kelestarian lingkungan hidup di Provinsi Bali.
Berbagai masalah lingkungan khususnya isu pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh sampah, limbah cair, pencemaran sungai, danau, laut, serta pencemaran udara mengakibatkan kualitas lingkungan hidup semakin menurun.
Disampaikan Wagub Cok Ace, perubahan Iklim merupakan isu penting yang harus disadari oleh masyarakat di seluruh dunia.
Penyebab utama perubahan iklim berasal dari aktivitas manusia terutama hasil pembakaran bahan bakar fosil serta peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diantaranya karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O).
Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim diantaranya: peningkatan suhu bumi yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut, cuaca ekstrem, terjadinya banjir dan bencana alam, kebakaran hutan, meningkatnya wabah penyakit, dan dampak-dampak lingkungan lainnya.
Dalam upaya mitigasi perubahan iklim, perlu dilakukan langkah-langkah strategis pengurangan emisi gas rumah kaca dimana salah satunya adalah meminimalisir dan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.
“Sudah saatnya kita beralih menggunakan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya,” tukas Wagub Cok Ace.
Sebagai bagian dari tindak lanjut Paris Agreement Tahun 2015, Indonesia telah berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca melalui penyampaian dokumen First Nationally Determined Contributions (NDC).
Komitmen tersebut telah diperbarui melalui penyampaian dokumen Updated NDC (UNDC) yang dibarengi dengan dokumen Long-Term Strategy: Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).
lndonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional dibandingkan skenario business as usual (BAU) untuk mencapai pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.
Dalam rangka transformasi menuju energi yang ramah lingkungan, Pemerintah Provinsi Bali juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih dalam mewujudkan energi Bali yang ramah lingkungan salah satunya adalah pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Dubes Jerman mengapresiasi yang telah dilakukan Bali baik dari segi penguatan aturan maupun implementasinya ke masyarakat. Selain itu, Dubes mengatakan bahwa pihaknya sangat mendukung upaya reforestasi mangrove.
Jerman telah berdiskusi secara intens dengan KLHK untuk menyiapkan program untuk mendukung pelestarian mangrove dan beberapa isu lingkungan lainnya yang krusial, yakni tata kelola sampah.
Jerman sebagai ketua G7 akan membawa narasi ini nantinya pada pertemuan G20 sehingga ini bisa menjadi momentum baik bagi Indonesia untuk memiliki program pelestarian lingkungan dan transisi EBT yang berkelanjutan.
Selain itu, Jerman juga membangun kemitraan dengan beragam pihak non-negara, seperti pusat penelitian, universitas, dan komunitas. Alasannya, upaya dekarbonisasi haruslah berorientasi pada masyarakat agar menjadi langkah yang efisien.
Selanjutnya perwakilan Greenpeace Jerman, Martin Kaiser mengungkapkan kemerdekaan energi adalah hal yang penting. Namun, lebih penting lagi jika kita bisa bebas dari energi fosil. Ini adalah saat yang tepat untuk beralih ke EBT.
Belajar dari pengalaman Jerman yang dulunya sangat bergantung pada Rusia untuk pemenuhan energi fosil, kini negara itu sudah beralih ke EBT. Model pengembangan transisi energi EBT di Jerman selalu melibatkan masyarakat, terutama untuk proyek energi surya dan bayu. Kuncinya adalah kerja sama dan keterlibatan masyarakat.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Nani Hendiarti mengungkapkan bahwa perihal transisi EBT menjadi salah satu fokus dalam pertemuan G20 nanti.
Indonesia bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Jerman dan AS untuk transisi EBT dan membangun fasilitas reduksi emisi karbon.
Terkait perbandingan biaya antara EBT dan fosil, ia menjelaskan bahwa EBT memang masih lebih mahal dibanding fosil. Namun, seiring waktu harga satuannya semakin rendah seiring perkembangan teknologi. Di sisi lain, Indonesia menyimpan potensi EBT yang luar biasa, terutama energi solar dan hidro. ***