Kurangi Dampak Negatif Rokok, Dewan Dukung Produk Tembakau Alternatif di Bali
Jakarta- Penggunaan produk tembakau alternatuf dari pengembangan inovasi teknologi industri hasil tembakau diyakini akan mampu mengurangi dampak negatif dari rokok terhadap sekitarnya.
Hal tersebut disampaikan aggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Nyoman Dhamantra terkait kehadiran produk tembakau alternatif di Bali.
Untuk itu, Dhamantra meminta Pemerintah Provinsi Bali segera membuat regulasi yang mengatur produk tembakau alternatif demi melindungi produk-produk lokal.
Dhamantra meyakini produk yang dihasilkan dari pengembangan teknologi tersebut dapat menjadi solusi perokok di Pulau Dewata dan juga lingkungan sekitarnya. “Produk tembakau alternatif adalah solusi karena tidak ada kandungan TAR-nya,” kata Dhamantra ketika dihubungi wartawan beberapa waktu lalu.
Politikus PDI Perjuangan itu lantas melansir kajian ilmiah dari Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) pada tahun 2018 menyatakan produk tembakau alternatif menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran.
Dengan demikian, produk tersebut tidak menghasilkan TAR dan berbagai zat kimia berbahaya bagi tubuh manusia. Penelitian ini menyatakan, produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-99 persen dibandingkan rokok konvensional.
Kajian ilmiah lainnya dari Public Health England (PHE), divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris. PHE menyatakan bahwa produk tembakau alternatif yang dipanaskan bukan dibakar menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen daripada rokok konvensional.
Mengacu sejumlah hasil kajian ilmiah tersebut, Dhamantra berharap Gubernur Wayan Koster mendukung pengembangan produk tembakau alternatif.
Dengan menggunakan produk dari pengembangan inovasi teknologi industri hasil tembakau itu, Dhamantra optimistis Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mampu mengurangi dampak negatif dari rokok terhadap sekitarnya.
Tentu saja hal itu, juga sejalan dengan visi Pemprov Bali yang tengah berupaya mewujudkan program Bali Bersih.
Dengan demikian, bukan tidak mungkin, kata Dhamantra, anggaran Jaminan Kesehatan Nasional – Krama Bali Sehat bisa berkurang seiring berkurangnya angka penyakit tidak menular yang sebagian besar dikaitkan dengan kebiasaan merokok.
Untuk tahun 2019 ini, Pemprov Bali menganggarkan sebesar Rp 495 miliar. “Kalau biaya kesehatan bisa menurun karena jumlah perokok berkurang, semakin sedikit anggaran yang bisa disubsidi,” tegas dia.
Untuk tahap awal, Pemprov Bali perlu melakukan sosialisasi produk tembakau alternatif kepada masyarakat. Pemprov Bali juga bisa menggandeng berbagai pihak untuk menyukseskan kegiatan tersebut, seperti para pelaku usaha.
“Sosialisasi penggunaan tembakau alternatif sebagai alat terapi untuk menghilangkan kecanduan rokok bisa menjadi solusi,” katanya menegaskan.
Pihaknya, juga meminta Pemprov Bali mendukung produk tembakau alternatif melalui pembentukan regulasi. Hadirnya regulasi, dia melanjutkan, juga untuk melindungi produk-produk lokal Bali.
“Anak-anak muda Bali banyak yang sudah mampu produksi liquid (rokok elektrik) dengan kualitas internasional. Tinggal bagaimana pemerintah memproteksi mereka sehingga mampu bersaing di pasar nasional,” demikian Dhamantra.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia dan Ketua Gerakan Bebas TAR dan Asap Rokok (GEBRAK!), Aryo Andrianto, sependapat dengan Dhamantra.
Aryo menjelaskan, produk tembakau alternatif memerlukan kepastian hukum dalam pemasaran, peringatan kesehatan, informasi produk, dan area pemakaian bagi konsumen untuk kelangsungan industrinya.
Hanya saja, pemerintah perlu membedakan regulasinya dengan rokok. Sebab, peraturan yang ada saat ini masih menyamakan antara keduanya. Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah mulai menyiapkan regulasi khusus untuk produk tembakau alternatif dengan melibatkan instansi-instansi terkait dalam pembahasannya.
“Kami juga ingin regulasi ini nantinya terpisah dari semua aturan rokok yang ada, karena Kemenkeu sendiri sudah membedakan kategori cukai produk HPTL dengan rokok,” demikian Aryo. (zal)