Bedah RUU HIP, Kahmi Badung Gelar Diskusi Online Pancasila
Denpasar – Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Badung menggelar Dialog Online Pancasila dalam membedah Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menuai kontroversi di masyarakat.
Diskusi menghadirkan para tokoh masyarakat dan akademisi yang diikuti puluhan peserta dipandu moderator Anak Agung Gede Oka Wisnumurti.
Pancasila sebagai ideologi Pancasila sudah final tidak perlu dipersoalkan kembali karena yang terpenting justru bagaimana membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa bernegara guna menghadapi ancaman radikalisme dan kapitalisme dunia.
Demikian rangkuman dihimpun dalam Diskusi Online Pancasila Memperkuat Nilai-Nilai Pancasila, melalui zoom meeting yang digelar Majelis Daerah (MD) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Badung, Sabtu (11/7/2020).
Menurut Ida Panglingsir Sukahet, semua masyarakat mesti menyadari bahwa Pancasila benar-benar dibutuhkan bagi Bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila, tidak ada negara, tidak ada Bhineka Tunggal Ika, tidak ada NKRI.
“Yang paling penting, Pancasila yang mempertemukan kita semua yang terdiri dari beragam perbedaan suku agama dan ras,” tandasnya.
Indonesia bisa dipersatukan oleh Pancasila. Sebab, tidak mungkin, Indonesia hanya dalam satu agama saja atau suku saja dan seterusnya.
“Kita ini memang diciptakan berbeda, itulah kekuatan kita, jadi nilai Pancasila itu luar biasa sebagai Ideologi,” tuturnya.
Dengan kata lain, Pancasila sudah final menjadi konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, tidak boleh lagi ada yang mengingkari Pancasila karena itu konsekuensinya sangat mahal bagi bangsa ini.
“Maka Pancasila harus dibumikan, disosialisasikan ke semua warga negara terlebih generasi muda,” sarannya.
Paham atau idelogi radikalisme yang menolak perbedaan dan tidak menerima dasar negara Pancasila bergulir kencang sejak reformasi yang mulai masuk ke lingkungan anak muda hingga masuk.
Maka, saat bersamaan atau sedang berpacu, apakah Pancasila yang lebih kuat masuk mempengaruhi anak muda sehingga bisa mencegah paham radikal atau sebaliknya itu paham radikal yang lebih dahulu masuk.
RUU HIP, sebagai sebuah usulan pandangan dihargai. Namanya rencana pasti saja tidak sempurna kurang perlu diperbaiki, bila ada kesalahan tentu bisa dperbaiki, sehingga impelmentasi UU harus ada sebagai pijakan untuk implementasikan pancasila entah dalam peraturan pelaksana atau lainnya.
“UU HIP ditunda, saya setuju, karena dalam pandemi Covid-19 fokus bagaimana mengendalikan pandemi Covid-19,” jelasnya.
Sementara Gede Antaguna mengingatkan, jangan sampai RUU HIP menjadi trial and error uji coba terhadap Pancasila, karena ujungnya ditebus dengan harga mahal seperti kasus hilangnya Timor Leste.
“Jangan lagi mengutakatik Pancasila yang sudah menjadi harga mati,” katanya menegaskan.
Menurutnya, RUU HIP sangat absurd. Jika dikatakan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial bagaimana kalau kemudian ada yang berpandangan sendi Pancasila adalah Ketuhanan Yang MaAha Esa. Hal ini, merupakan perdebatan yang tidam perlu.
Sementara Nyoman Subanda melihat di Indonesia masih sering latah. Senang membuat UU atau peraturan yang kadang tumpang tindih atau bertabrakan, karena sebenarnya sudah ada kemudian dibuatkan lagi aturan.
Salah satu penanggap H Pujianto dari NU Bali menegaskan, antara Pancasila dan NU tidak bisa dipisahkan lagi.
“Sebagai idelogi, tidak perlu dibahas lagi, karena terbukti mempersatukan Indonesia selama puluhan tahun, pluralisme dapat terwujud,” sambungnya.
Puji menilai RUU HIP, yang akan membawa Pancasila sebagai UU ini, kemungkinan malah menjadi turun kelas.
“Kita sudah punya aset sempurna Pancasila, kenapa harus diturunkan lagi setara uu dengan uu yang lain,” tukasnya.
Pada bagian akhir Wisnumurti sependapat dengan Subanda bahwa Pancasila lahir sebagai idelogi sudah given.
Tidak usah diutak-atik, karena sudah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa founding father. Saat deklarasi negara merdeka mendasarkan diri pada Pancasila. Kemudian, di Pemnbukaan UUD 1945 dijabarkan dalam batang tubuh.
“Tinggal dibumikan, persoalan teknis, implementatrif apa bentuknya, itu bisa dibahas, tetapi tidak perlu bahas Pancasila sebagai idelogi bangsa, saat ini kita menghadapi ancaman besar yakni ideologi kapitalisme dan radikalisme,” tegas mantan Ketua KPU Bali ini. (sul)