Obituari Penyair Reina Caesilia di Bentara Budaya Bali
Gianyar- Bentara Budaya Bali (BBB) menggelar acara Obituari bagi penyair Reina Caesilia, Sabtu (18/5/2019).
Reina Caesilia berpulang pada 2 April 2019 karena kecelakaan tunggal, merupakan penulis yang gigih dan aktif bergaul dalam berbagai komunitas sastra, termasuk di Jatijagat Kampung Puisi (JKP) Bali.
Diketahui, Reina Caesilia, adalah nama akrab dari Caesilia Nina Yanuariani.
Hingga berpulangnya, penyair kelahiran Surakarta, 29 Januari 1965 ini be penyair Reina Caesilialum sempat menerbitkan buku antologi tunggal puisinya. Padahal sesungguhnya Reina, yang menamatkan sekolah di SMAN 1 Singaraja, terbilang produktif menciptakan karya-karya puisi dan esai sedini masa SMA-nya.
Pada acara obituari, yang terangkai dalam program Dialog Sastra #65, dihadirkan pembacaan karya puisi Reina, dialog bersama narasumber sastrawan Wayan Jengki Sunarta dan pengamat seni budaya Hartanto, juga pemutaran video.
Hadir pula keluarga Reina Caesilia, sahabat dan rekan sastrawan antara lain Abu Bakar, Nyoman Wirata, Alit S. Rini, Mas Ruscitadewi, Made Suantha, Wayan Juniarta, Yuliarsa dan lain-lain.
Video yang ditayangkan merupakan Sisip Arsip tentang sosok dan karya-karya Reina Caesilia yang dihimpun dari berbagai sumber serta wawancara dengan kawan-kawan terdekatnya. Sebagai editor yakni Dewa Widhya Nugraha dan kreatif oleh Vanesa Martida. Selain itu, ditampilkan pula sebuah kreatif video art alih kreasi dari puisi Reina Caesilia berjudul “Panggilan Kurcaci”, garapan Ganesa Putra.
Wayan Jengki Sunarta mengungkapkan bahwa Reina Caesilia adalah salah satu penyair yang diperhitungkan di Bali. Dia telah menulis lebih dari seratusan puisi. “Puisi-puisi Reina mulai muncul di Bali Post pada awal tahun 1980-an.
Sebagai penyair pemula pada saat itu, dia dengan tekun mengikuti sistem perpuisian di Bali Post yang diasuh Umbu. Dia memulai karirnya sebagai penyair di kelas ‘Pawai’,” ungkap Jengki.
Meskipun belum memiliki antologi tunggal, namun puisi-puisi Reina telah terbit di berbagai media serta terangkum dalam berbagai kumpulan bersama, semisal “Saron” (2018), “Klungkung: Tanah Tua Tanah Cinta” (2016), “Dari Negeri Poci 6: Negeri Laut” (2015), “Dendang Denpasar Nyiur Sanur” (2013), “Pedas Lada Pasir Kuarsa” (2009) dll.
Pada tahun 2014 ia bahkan memenangi penghargaan dalam Lomba Cipta Puisi Nasional yang diselenggarakan Leon Agusta Institute.
Jengki melanjutkan, puisi-puisi Reina dibangun dengan bahasa sederhana, namun dengan tematik beragam.
Dalam kesederhanaan puisi-puisinya terkandung kompleksitas pengalaman batin yang berkelindan dengan narasi-narasi besar, seperti sosial, budaya, ekologi, dan politik.
Sementara itu, Hartanto mengungkapkan bahwa berawal peristiwa yang dialami Reina Caesilia, bersama sejumlah sastrawan di Bali lahirlah inisiatif untuk melakukan penggalangan dana atau ‘solidaritas puisi’.
“Esensi dari upaya peseduluran ini sesungguhnya adalah persaudaraan sesama. Puisi, telah berhasil ‘merajut benang-benang kasih‘, tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras, komunitas maupun kelas.
Bahkan beberapa individu, sastrawan, maupun perupa yang tak kenal pada Reina ikut tergerak ‘berbagi’ rasa, pada gerakan solidaritas itu, “ ungkap Hartanto.
Selain Wayan Jengki Sunarta dan Hartanto, kawan-kawan sastrawan dan sahabat Reina Caesilia juga turut berbagi pengalaman pergaulan kreatif dengan almarhumah selama ini. Sebagaimana disampaikan Mas Ruscitadewi, Nyoman Wirata, juga Alit S. Rini, bahwa Reina Caesilia meskipun terbilang sosok yang pendiam dan penyendiri namun ia juga kukuh dan keras atau tegas.
Hal itu tergambar pada karya-karyanya, atau keputusannya untuk meninggalkan posisi-posisi di berbagai media, termasuk untuk berpindah jurusan dari Sastra Inggris ke Sastra Indonesia, di Fakultas Sastra Universitas Udayana, bahkan kemudian memilih keluar (tidak tamat). Ia kemudian menyelesaikan sarjana (S1) di FIKOM Universitas Dwijendra, Denpasar.
Selain Reina Ceesilia, BBB juga telah menyelenggarakan obituari bagi tokoh-tokoh lain yang telah berpulang, semisal obituari bagi penyair Wayan Arthawa, pelukis Wahyoe Wijaya, kurator seni rupa Thomas Freitag, koreografer dan penari I Nyoman Sura, pematung I Ketut Muja, serta kartunis dan cerpenis I Wayan Sadha, aktor teater Kaseno, pelukis Tedja Suminar, maestro tari Ida Bagus Oka Blangsinga, penyair Vivi Lestari dan sastrawan NH. Dini. (*)