Gawat, 92 Persen Hoaks Bersumber dari Media Sosial!
Sumba Barat Daya- Media sosial telah menjadi platform penyebaran informasi utama khususnya masyarakat dengan akses internet yang memadai.
Hanya saja, berbeda dengan media arus utama yang umumnya telah terverifikasi, media sosial rawan menjadi tempat penyebaran informasi palsu atau berita hoaks.
Kata Fransiskus Xaverius Bala Keban, seorang jurnalis dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, penting bagi masyarakat untuk mengetahui perbedaan berita palsu dan berita yang terverifikasi.
“Berita adalah informasi atau laporan tentang suatu hal atau peristiwa yang biasanya dimuat oleh media massa. Tidak semua peristiwa itu berita tapi semua berita itu peristiwa,” ujar Fransiskus dalam acara webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Kamis (8/7/2021).
Ia melanjutkan, media terverifikasi adalah media terpercaya yang informasinya dapat dipertanggungjawabkan serta telah terdaftar di lembaga negara seperti Kementerian Hukum dan HAM serta Dewan Pers, juga menjalani kode etik jurnalistik.
“Di samping itu pula ada beberapa tangung jawab yang harus diemban jurnalis seperti berita bisa dipertanggungjawabkan, menulis dengan
5W 1H, memuat fakta bukan opini, tidak menyinggung ras, agama atau suku tertentu, tidak menimbulkan konflik dan tidak memuat hal sensitif dan menghina orang atau pribadi tertentu,” tambahnya.
Saat ini, media digital seperti media sosial telah menjadi platform penyebaran hoaks paling tinggi yaitu sekitar 92.4 persen, disusul aplikasi chat 62.8 persen, dan situs web sebesar 34.9 persen.
Sementara itu, isu hoaks terbanyak yang disebarkan oknum-oknum tidak bertanggungjawab adalah isu sosial politik sebanyak 91.8 persen, isu SARA sebesar 88.6 persen, hoaks kesehatan 41.2 persen dan hoaks makanan dan minuman sebesar 32.6 persen.
Dikatakan Fransiskus, beberapa alasan umum penyebaran informasi palsu atau hoaks adalah untuk menimbulkan kecemasan, kebencian dan permusuhan.
“Biasanya sumber berita tidak jelas, berita tidak seimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu, bermuatan fanatisme atas nama ideologi, judul dan pengantarnya provokatif, juga menyembunyikan fakta dan data yang valid,” ucapnya.
Lalu, bagaimana cara menanggapi berita palsu atau berita hoaks?
Ia menyarankan pentingnya sikap tidak mudah terpangcing, serta rajin melakukan kroscek lebih dulu dengan berita dari media yang lain.
“Kita bisa teliti keaslian foto dan video dengan menggunakan mesin pencari Google, menanyakan kepada yang kompeten, kritis dan cuek serta aktif di grup antihoaks. Jika perlu, laporkan ke Kementerian soal temuan terkait pemberitaan yang ada ke aduankonten@mail.kominfo.go.id,” pungkasnya.
Selain Fransiskus, hadir juga dalam acara webinar literasi digital, yaitu CEO PT Mandalika Walasita Sajiwa Aryo Hendarto; fashion designer Sofia Sari Dewi; dan aparat Desa Payola Umbu Hendrikus Randa Mada. Keempatnya berbicara dalam acara Indonesia #MakinCakapDigital 2021 yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.