Kenapa almarhum Profesor Mubyarto dan Doktor Ubeidillah Badrun mempermasalahkan posisi anak-anak pejabat publik dalam pemerintahan, khususnya Presiden tidak lain karena jabatan yang diemban oleh Bapaknya memungkinkan mereka secara khusus melabrak kepantasan, kepatutan dan kepatuhan dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Dengan posisi sebagai anak-anak pejabat publik apapun jabatan yang diemban, apalagi Presiden Republik Indonesia akan sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan diluar yang akan merusak sistem dan mekanisme pengelolaan berbangsa dan bernegara. Melalui mereka anak-anak pejabat publik dan atau Presiden Republik Indonesia yang sangat dekat berinteraksi dengan Bapak atau Ibunya, maka banyak kalangan publik dan khalayak yang ingin memanfaatkan akses untuk memudahkan berbagai urusan mereka, termasuk melakukan berbagai cara diantaranya memberikan sebentuk saham dalam jumlah tertentu sebagai permodalan.
Pertanyaannya tentu saja adalah, apakah Mbak Tutut, Alissa dan Yenny Wahid, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gibran dan Kaesang beserta saudara-saudara, sanak kerabatnya kalau bukan ada hubungannya dengan jabatan Presiden Republik Indonesia akan dikenal publik dan memiliki pengaruh?
Percepat Pemulihan Ekonomi, BPR wilayah Bali dan PT Komunal Sejahtera Indonesia Sepakat Kerjasama
Maka itu, disinilah substansi atau pokok permasalahan terminologi “perekonomian rakyat” yang dipermasalahkan oleh almarhum Profesor Mubyarto jauh sebelum reformasi terjadi dan yang kemudian dipermasalahkan lagi oleh Ubeidillah Badrun dalam kasus Gibran dan Kaesang sang anak Presiden. Bahwa, korupsi, kolusi, dan nepotisme justru potensi terbesarnya terjadi pada keluarga dan sanak kerabat pejabat publik, tidak hanya Presiden Republik Indonesia. Melakukan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme ini berarti membawa peradaban bangsa dan negara ke arah kegelapan atau merupakan tindakan primitif sebab hanya memanfaatkan kekuasaan atau power.
Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan para pendukung fanatik pejabat publik, khususnya Presiden Joko Widodo atas boleh atau tidaknya anak-anak, sanak dan kerabat Presiden Republik Indonesia dalam beraktifitas ekonomi dan politik, maka jawabannya adalah sejauh kegiatan ekonomi dan bisnisnya telah dirintis dimasa lalu tidak layaklah publik melarangnya.
Yang dipermasalahkan adalah saat orang tuanya menjabat dalam pemerintahan, maka banyak pihak yang memanfaatkan aksesnya, apalagi kemudian berkepentingan mengaburkan kasus kejahatan ekonomi nya terhadap rakyat, bangsa dan negara. Jelas kegiatan ekonomi dan bisnis yang semacam ini sangat jelas tidak dibolehkan dan telah menjadi yurisprudensi TAP MPR XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini diperkuat dengan TAP MPR VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Ombudsman Bali Serahkan Sertifikat Pelayanan Publik Cegah Maladministrasi
Teruslah berjuang saudaraku Ubeidillah Badrun, kami mendukung mu, sebab kami para alumni UGM sebagian juga prihatin atas praktek-praktek berbangsa dan bernegara pasca reformasi ini yang justru semakin jauh dari cita-cita dan amanatnya sejak para aktifis kampus UGM memperoleh dukungan dari para guru besarnya untuk memperjuangkan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN, sebaliknya yang terjadi dengan para akademisi UGM saat ini hanya diam seribu bahasa dan seolah-olah “menikmati” bagian kekuasaan tersebut!. (*)
- Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri