Optimalisasi Peran Bappenas: Sebuah Usulan di Periode Kedua Pemerintahan Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo sebagai petahana melalui hasil hitung cepat (Quick Count/QC) dari berbagai lembaga survey yang kredible sudah dapat “dipastikan” akan kembali memegang tampuk pemerintahan tertinggi di Republik Indonesia.
Ditandai dengan semakin membaiknya prestasi kinerja ekonomi makro Indonesia yang berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi terbaik sejak 4 tahun terakhir, yaitu 5,18% dan tingkat inflasi yang terkendali semakin membuka peluang optimisme sebagian besar kalangan akan adanya perubahan kinerja pembangunan ekonomi di masa 5 tahun mendatang.
Untuk itulah, kita perlu menata secara mendasar perekonomian nasional sebagai fundamental kemandirian pembangunan negara dalam periode kedua (5 tahun) pemerintahan Presiden Joko Widodo ini.
Bagaimana upaya mengatur secara terencana dan terarah tidak saja melalui kemendesakan (urgent) adanya Undang-Undang Sistem Ekonomi Nasional sebagai payung untuk mengatur peran, fungsi dan kewenangan sektoral dari hulu sampai ke hilir industri yang sesuai pasal 33 UUD 1945. Namun juga, adanya sebuah kementerian/badan/lembaga yang memfungsi perankan Perencanaan Pembangunan Nasional yang lebih tersinkronisasi dan integratif secara sektoral dan regional.
Lembaga yang selama lebih dari 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto mampu menjadi tangki pemikir (think thank) dan pemberi masukan yang efektif dan efisien bagi Kepala Negara dan Pemerintahan dalam pengambilan keputusan strategis dan berbagai kebijakan program pembangunan nasional.
Dalam kerangka inilah kita perlu sebuah kementerian atau lembaga yang merupakan inti (core) dari semua implementasi (executed) yang mampu meramu dan mengharmonisasi untuk mengikuti gerak langkah Presiden Joko Widodo yang sangat cepat bergerak dan bertindak.
Maka, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) adalah yang paling tepat dan penting serta tak diragukan profesionalitasnya memerankan tugas pokok dan fungsi tersebut daripada selama ini hanya berperan sebagai “panitia besar” musyawarah perencanaan pembangunan nasional dan beberapa “titipan” proyek kajian (termasuk kajian pemindahan ibu kota negara, pengelolaan dana haji dan lain-lain) yang sifatnya temporer.
*Bappenas Sebagai Tangki Pemikir*
Bappenas adalah kementerian/lembaga yang telah berpengalaman (shopisticated) dan memiliki rekam jejak (track record) yang jelas dan akan mampu menjadi penyusun Kerangka Dasar Pembangunan dari Hulu-Hilir Sektor Industri Indonesia, dengan terlebih dahulu mendefinisikan lebih tegas secara hukum (by law and definition) beberapa pengertian atas kata-kata kunci dan penting di setiap ayat pada pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan operasional bekerjanya struktur industri secara sektoral.
Terutama sekali mengenai ayat: “Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak ini yang harus dijelaskan secara lengkap dalam UU sebagai derivasi dari pasal 33 UUD 1945.
Sebab, dengan cara inilah bekerjanya sistem perekonomian atau Ekonomi Konstitusi yang dirumuskan oleh sebuah lembaga pemikir dan perencana suatu bangsa dan negara sedari awal dan akan lebih terkonsolidasi, terkoordinasi dan sinergis mencapai tujuan dan cita-cita pembangunan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, Dasar Negara Pancasila dan konstitusi negara.
Disamping tentu saja adalah adanya perencanaan program berdasar prioritas, terarah, memperoleh hasil dan manfaat bagi kepentingan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara yang dilakukan oleh masing-masing kementerian dan lembaga negara yang dibebankan tugas pokok dan fungsinya.
Fungsi dan Peran yang akan diambil Bappenas 5 (lima) tahun mendatang juga sudah pasti beririsan dengan komitmen Presiden Joko Widodo dalam menegakkan Visi Trisakti dan Nawacita secara lebih inklusif, produktif dan akseleratif dalam mencapai sasaran pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya di seluruh Indonesia.
Dalam konteks Trisakti dan Nawacita, maka merujuk pada salah satu pidato, Bung Karno saat menyampaikan rumusan arah dan strategi kebijakan politik ekonomi nasional pada tanggal 28 Maret 1963 di Istana Merdeka, beliau menyampaikan hal mendasar dalam tujuan pembangunan nasional, Pertama, prinsip usaha bersama atau Gotong Royong.
Kedua, melepaskan ketergantungan ekonomi dengan asing yang menjalankan politik imperialisme dan feodalisme (dalam konteks saat ini adalah neoliberalisme dan kapitalisme).
Dan, yang Ketiga sebagai tujuan utama adalah kesejahteraan bersama atau seluruh rakyat Indonesia, merupakan seluruh upaya pembangunan atau aspek pemerataannya
Prioritas sektoralnya pun, disampaikan Bung Karno melalui adanya perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang terarah dan terukur sesuai perhitungan (kalkulasi) yang matang dan berbasis data serta obyektif, meliputi:
Pertama, Sektor pertanian, perkebunan dan pertambangan;
Kedua, sektor perhubungan antar wilayah yang menghubungkan sentra-sentra produksi daerah;
Ketiga, desentralisasi aturan perundang-undangan dan birokrasi administrasi di daerah dan pusat yang lebih menempatkan daerah sebagai sentral pembangunan dan mengurangi campur tangan pusat untuk cabang-cabang ekonomi tertentu; dan
Keempat, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berimbang (berarti yang dijalankan alm. Pak Harto) bukan pendekatan defisit yang saat ini terjadi.
Struktur dan kelembagaan Ekonomi yang diutamakan dalam pidato Bung Karno itu adalah yang sesuai dengan prinsip Usaha Bersama atau Gotong Royong adalah Koperasi dan BUMN bukan swasta.
*Evaluasi Kinerja Program*
Bappenas, selain sebagai lembaga tangki pemikir, juga mampu berperan sebagai lembaga yang dapat mengevaluasi kinerja Kementerian/Lembaga yang mempunyai peran penting dalam penguasaan ekonomi dan pembangunan terutama untuk sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Selama era pemerintahan Presiden almarhum Soeharto, fokus penguatan sektor-sektor ini telah mampu menorehkan keberhasilan dalam berswasembada beras pada bulan Nopember 1984 dan Presiden Soeharto menerima penghargaan dari lembaga pangan dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) atas kinerja pertanian ini.
Keberhasilan ini (walaupun masih disanggah oleh Menteri Pertanian) harus dipandang sebagai sebuah pengakuan obyektif dunia internasional atas pencapaian sebuah program yang berprioritas, terencana dan terarah serta adanya disiplin program dan anggaran.
Kinerja ini tentu akan mampu kita raih kembali tentu dengan menempatkan Bappenas sebagai lembaga yang memiliki otoritas merencanakan, mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengevaluasi sasaran-sasaran (target) program masing.masing kementerian/lembaga negara.
Dengan mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi Bappenas ini, maka Presiden tidak perlu lagi membuat badan atau lembaga yang secara khusus mengevaluasi kinerja para pembantunya.
Salah satu penyebab ketidakpaduan program dan ketidakakuratan data di masing-masing kementerian dan lembaga pemerintahan yang terjadi selama periode pemerintahan 2014-2019, akan dapat diatasi dengan adanya peran kunci Bappenas.
Bappenas dapat berperan juga sebagai penidaklanjut notulen rapat-rapat kabinet yang selama ini karena ketidakjelasan peran, akhirnya berakhir pada saling lempar tanggungjawab diantara kementerian/lembaga atas suatu isu dan permasalahan yang dihadapi publik.
Banyak sekali hasil notulen rapat yang tidak menjadi tindaklanjut kementerian teknis, sebagai contoh kecil yang berdampak besar atas konsistensi sebuah program dan anggaran adalah kebijakan Kementerian Pertanian melalui program 10 juta ekor ayam secara tiba-tiba untuk masyarakat yang berdampak pada pengalihan anggaran dari program lain yang sedang berjalan sejumlah Rp 780 Milyar.
Kebijakan program yang diputuskan ditengah jalan ini tentu akan mengganggu kesinambungan program lain yang telah dirancang dan direncanakan secara matang sejak awal, tentu akan mengganggu kinerja program yang dipotong anggarannya.
Kebijakan tidak impor produk-produk pertanian yang telah dicanangkan Presiden justru menjadi kontraproduktif oleh keputusan Menteri Perdagangan yang melakukan hal sebaliknya.
Kebijakan yang seperti ini dan dilakukan ditengah jalan jelas menunjukkan bahwa Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan tak mematuhi perencanaan program yang telah disusunnya dan berbuat sekehendak hati sesuai seleranya.
Terlebih jika program penyediaan 10 juta ekor ayam untuk masyarakat ini dilakukan bukan oleh direktorat teknis atau struktur kementerian yang memiliki kewenangan dalam mengelola program tersebut.
Walaupun daging ayam melalui pengembangan ternak ayam merupakan kebutuhan pokok masyarakat, akan tetapi permasalahan yang sering muncul ditengah pasar dan masyarakat dan butuh pendanaan yang besar adalah masalah ketersediaan daging sapi, yaitu selisih antara produksi dan konsumsi dalam negeri.
Melalui program yang sudah terbukti (proven) ini, diharapkan Presiden dapat memberi perhatian yang serius atas perubahan program ditengah jalan oleh Menteri-Menteri lainnya yang justru mengganggu kinerja program berjalan yang sangat dibutuhkan dalam jangka panjang dan demi mensukseskan realisasi dan pelaksanaan janji-janji kampanye Presiden.
Program penyediaan 10 juta ekor ayam bagi masyarakat misalnya, bukan saja sebuah program yang tidak prioritas, namun kesan politisnya lebih mengemuka dari kemendesakan kebutuhannya. Agar kesan politisnya semakin berkurang dan arah keberlanjutannya (sustainability) lebih terjamin, maka evaluasi kinerja program kementerian yang obyektif juga dapat menjadi masukan (input) bagi Presiden dalam mengevaluasi kinerja pembantunya.
Isu-isu di sektor energi dan air sangat mendesak diperhatikan secara serius oleh Bappenas, terutama untuk menyelesaikan masalah defisit minyak dan gas serta ketersediaan air bagi masyarakat. Kemendesakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola sumberdaya air patut mulai diprogramkan secara terencana dan terkoordnasi dengan kemampuan Bappenas yang diperluas.
Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi