Catatan KTR Bali: Cukai Rokok Belum Efektif Turunkan Perokok Usia Dini

0

Denpasar – Pengenaan cukai rokok saat ini dinilai belum mampu mengendalikan atau menurunkan prevalensi perokok usia dini atau anak-anak.

Karenanya, para pegiat pengendalian rokok atau Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Bali menilai upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok sebagaimana ditargetkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tidak berjalan efektif.

Ketua Udayana Central (Center for NCDs Tobacco Control and Lung Health) I Made Kerta Duana menyatakan, pemerintah gagal melindungi anak dari rokok dalam menurunkan prevalensi perokok pada anak.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sejak tahun 2018 yang ditargetkan bisa menurunkan, justru yang terjadi peningkatan hingga 9,1 persen.

“Padahal pemerintah menargetkan bisa menurunkan hingga 5,4 persen namun sampai akhir tahun ini justru meningkat mendekati 9,1 persen,” kata Duana kepada wartawan dalam evaluasi akhir tahun pengendalian rokok di Denpasar, Sabtu (5/12/2020).  

Pihaknya bersama aliansi pengendalian rokok lainnya di Tanah Air, pihaknya mendesak agar segera dilakukan revisi PP 109/2012

Ke depan, sesuai target RPJM, diharapkan terjadi penurunan prevalensi perokok bisa tercapai, lewat berbagai upaya tertentu untuk menurunkan angka perokok dini atau anak.

Menurutnya, meningkat atau massifnya perokok pada anak sangat dipengaruhi banyak faktor salah satunya, kemudahan akses dan daya beli.

“Jadi, ini harus berbarengan ada upaya yang jelas untuk menurunkan perokok pada anak,” tegas Duana.

Daya beli masyarakat, harus juga diperhatikan dalam hal ini, diharapkan harga rokok harus dipatok mahal sehingga tidak terjangkau oleh anak-anak. Saat ini, harga rokok relatif murah kisaran Rp25 ribu sehingga dalam perhitungan yang dilakukan, setidaknya dinaikkan hingga Rp50 ribu.

Diungkapkan pula, soal intervensi masuknya iklan promosi sponsorship dari industri rokok yang begitu massif ke daerah-daerah akhirnya mendorong anak-anak untuk menjadi perokok pemula.

Pemerintah harus lebih tegas dalam menerbitkan regulasi misalnya dalam pengaturan iklan rokok dalam ruang dan luar ruang, agar tidak mudah diakses anak-anak.

Iklan-iklan rokok di toko-toko modern, agar ditampilkan secara tertutup tidak dicampur dengan barang kebutuhan sehari-hari. Demikian juga, pemerintah harus tegas mengatur iklan rokok luar ruang.

Selain itu, pemerintah juga dinilai ambiugu, dalam kebijakan pengaturan iklan rokok bergambar dan regulasi bahan-bahan yang mengandung zak adiktif, belum total diterapkan.

Saat ini cukai rokok masih rendah sehingga sangat mudah diakses anak-anak akibat harganya relaif murah.

“Jadi pengenaan cukai rokok sebagai upaya pengendalian perokok dini atau anak-anak ternyata tidak efektif,” tegas Duana dalam pertemuan yang dihadiri aktivis KTR lainnya dari LPA Bali, Majelis Desa Adat Kota Denpasar dan akademisi Unud lainnya.

Ketegasan pemerintah diperlukan terkait regulasi pengendalian rokok termasuk pelarangan rokok elektrik maupun peringatan rokok bergambar agar dilakukan konsisten secara total. Bukan lagi, hanya bagian dari promosi industri rokok, karena faktanya baru berjalan 40 persen saja.

Sekretaris Perhimpunan Ahli Epidomologi Cabang Bali dr I Wayan Gede Artawan mengungkapkan tingkat kepatuhan tempat-tempat tertentu seperti hotel dan restoran, pasar tradisional lainnya dalam pengendalian KTR masih rendah.

“Tingkat kepatuhan tempat hiburan seperti di Kabupaten Badung juga sangat rendah,” tutunya.

 Artawan juga mengingatkan saat pandemi Covid-19 ini, para perokok aktif memiliki resiko penularan terhadap virus corona cukup tinggi dibanding mereka yang tidak merokok.

Dijelaskan, karena ada mekansime dan reseptor penerima di tubuh perokok itu lebih banyak dibandingkan yang non-perokok sehingga rentan terpapar.Bahkan, tidak hanya itu, mereka yang tidak merokok sekalipun namun terpapar asap rokok atau sebagai perokok pasif juga sangat berisiko atau rentan terhadap penyebaran Covid-19 sehingga diingatkan mereka agar lebih berhati-hati dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. (ara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *