Jumlah Penduduk Denpasar Tertular HIV Terus Meningkat, Maret 2023 Sudah Hampir 15 Ribu

0

Kabardenpasar – Jumlah penduduk yang mengetahui dirinya HIV di kota Denpasar Bali pada bulan Maret 2023 berjumlah 14.947. Jumlah ini meningkat tiga ribu lebih dibanding tahun sebelumnya.

“Hingga bulan Maret 2023 jumlah penduduk yang mengetahui dirinya HIV berjumlah 14.947. Padahal pada 2022 lalu estimasi ODHA (orang dengan HIV/AIDS) berjumlah 11.876,” ungkap Teknikal Officer (TO) Indonesia Aids Coalition (IAC) Made Suparta dalam FGD Sentisisasi Isu HIV AIDS bagi Pegiat Media Terhadap Populasi Kunci yang digelar di Artotel Sanur, Jumat, 23 Juni 2023.

Ditambahkannya, penularan HIV dan AIDS masih terjadi saat ini. Bahkan, diibaratkan seperti ‘gunung es’. Permasalahan hanya terlihat sedikit, padahal di bawahnya masih ada bongkahan yang lebih besar, yang belum terdeteksi dan perlu segera ditanggulangi.

Fakta yang cukup mencengangkan adalah sebanyak 126 ABG (anak baru gede–red) di rentang umur 5-14 tahun yang diketahui terjangkit. Dengan perincian 73 anak laki laki dan 53 perempuan.

Sedangkan di rentang umur 1-4 tahun berjumlah 250 kasus dan bayi atau kurang dari 1 tahun ada 53 kasus, yang biasanya tertular dari orangtuanya.

Data ini merupakan kumulatif menurut kelompok umur dari tahun 1987 hingga Maret 2023.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar Tri Indarti Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Denpasar Tri Indarti, mengatakan meski bisa dibilang masih bocah di rentang usia ABG 5-14 tahun, sebagian tak bisa dipungkiri sudah dalam kondisi aktif beraktivitas seksual.

Tri juga menjelaskan data ini yang tercatat di Dinas Kesehatan dan KPA Denpasar, meski tak menutup kemungkinan penderita dari luar Denpasar.

“Ada orang-orang yang bukan KTP Denpasar, termasuk juga WNA mengakses layanan kesehatan di Kota Denpasar. Tetapi mungkin mayoritas orang Denpasar, sedangkan yang lainnya sebagai tambahan saja. Jadi ini yang tercatat di Dinas Kesehatan dan KPA Denpasar,” ungkapnya.

Lebih lanjut dikatakan, meski dalam pengetahuan orang awam, penyakit ini lebih banyak menghinggapi kaum homoseksual tetapi fakta yang ada jumlah penderita heteroseksual malah 3 kali lipat dari kaum homoseksual. Tepatnya hingga Maret 2023 kumulatif penderita dari kelompok heteroseksual sebanyak 10.731 dan homoseksual sebanyak 2.942, jelasnya.

Fakta lain adalah adanya 4 penderita yang mengaku menderita penyakit ini akibat tatto. Meski fakta juta bahwa di sebagian besar layanan tatto di Pulau Bali telah menerapkan prosedur kesehatan yang ketat untuk para pelanggan tatto.

Seperti yang dikatakan oleh pemilik tatto yang juga mengikuti FGD ini bahwa jarum yang ia gunakan hanya sekali pakai dan telah disterilisasi sesuai prosedur kesehatan.

Sementara faktor risiko terbanyak nomor 3 setelah heteroseksual dan homoseksual adalah IDU (inject drug users) berjumlah 632 kasus.

“Pecandu narkotika ini ranking ketiga. Tapi sekarang nyaris sudah terkendalikan melalui jarum suntik. Tapi ini yang perlu kita waspadai, karena melalui jarum suntik yang tidak steril dan dipakai secara bergantian ini menjadi titik penularan daripada HIV dan AIDS,” jelasnya.

Tri Indarti mengatakan dari segi umur, orang yang terinfeksi HIV-AIDS didominasi oleh kalangan usia 20-39 tahun. Hal ini dipengaruhi oleh usia produktif dan tingginya keinginan seks pada usia tersebut.

“Kasus HIV-AIDS ini ibarat gunung es, akibat perilaku seks yang berisiko. Maka kita lakukan berbagai upaya edukasi seperti suluh, lalu skrining, dan lakukan tes sehingga segera terdeteksi dan diobati agar tidak masuk ke fase AIDS,” katanya.

Sementara itu pembicara lain, Afriezhal Hafizt menekankan pentingnya belajar tentang SOGIESc ( Sexual, Orientation, Gender, Identity, Expression, dan Sexual Characteristic).

“Belajar tentang SOGIESc penting untuk mengingatkan kembali bahwa hal terkait itu bukan yang mengakibatkan orang tersebut beresiko terinfeksi HIV & IMS. Juga penting menghargai dan menerima keberagaman yang ada dan tidak gampang menilai dan memberi label negatif serta menghakimi seseorang,” terang Hafizt.

Dalam diskusi ini juga terangkat beberapa langkah dalam menghindari HIV dan AIDS. Langkah tersebut, yakni ABCDE yang merupakan kepanjangan dari Abstinence, Be Faithful, Condom, Drug No, dan Education.

Untuk abstinence ini termasuk jangan melakukan hubungan sek sebelum menikah, saling setia dengan pasangan atau be faithful.

Jangan lupa kondom jika abstinence dan be faithful itu memang tidak bisa dilakukan. Selanjutnya, drug no yakni jangan menggunakan narkoba, dan terakhir adalah dengan cara edukasi/pemahaman secara massif agar masyarakat mengetahui secara utuh tentang apa dan bagaimana menghindari HIV dan AIDS ini.

“Kalau ABCDE ini dipahami, maka Getting Tri Zero 2030 bisa dicapai, yakni zero infeksi baru, zero kematian terkait AIDS, serta zero stigma. Tapi pada intinya jangan melakukan seks berisiko,” jelas Made.

Yang tak kalah penting adalah meminimalosir stigma negatif dan diskriminasi yang dialami para penderita penyakit ini.

Stigma negatif dan diskriminasi ini dikhawatirkan membuat penderita enggan datang ke layanan kesehatan yang akhirnya berdampak pada lambannya proses penanggulangan HIV-AIDS.

Dalam acara ini juga hadir KPA Kota Denpasar, LBH Bali, PKBI Bali, Forum Peduli AIDS Bali, perwakilan komunitas trans puan, pekerja seks, komunitas iDU, dan media.

Meski di hampir seluruh wilayah Indonesia penyakit ini masuk dalam status epidemi terkonsentrasi pada populasi kunci kecuali di Papuan Barat dan Papua, sejumlah fakta mencengangkan masih terjadi dan masih butuh penanganan terintegrasi hingga saat ini.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *