Headlines

Catatan Defiyan: Menegaskan Keberpihakan, Menegakkan Konstitusi Ekonomi

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat 1 menegaskan, bahwa: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluagaan, artinya berusaha bersama dengan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana perintah ayat 3. Dengan demikian, Pemerintah harus segera membenahi kebijakan anggaran negara yang selama ini terlalu besar dialokasikan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Kebijakan anggaran yang pro penanggulangan kemisikinan (pro poor) harus lebih diprioritaskan dalam agenda tujuan strategi pembangunan berkelanjutan (sustainability development goals and strategy).

Sektor-sektor industri yang menguasai hajat hidup orang banyak selama Indonesia dijajah dahulu dikuasai oleh korporasi swasta VOC Belanda, maka pasca proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seharusnya dikembalikan penguasaannya kepada kelembagaan ekonomi masyarakat. Diantaranya yaitu, sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan yang selama masa kolonialisme Belanda, monopoli perdagangan atas komoditas industri-industri ini dikuasai oleh VOC, termasuk jaringan distribusinya ke luar Indonesia. Penduduk Indonesia praktis tidak memperoleh nilai tambah (added value) produksi dan perdagangan berbagai komoditas yang merupakan hasil sumber daya alam dari tanah air mereka sendiri.

Ketimpangan Struktural
Setelah 75 Tahun usia Proklamasi Kemerdekaan pada Tahun 2020, ketimpangan ekonomi terus berlanjut, pendulum penguasaan ekonomi dibeberapa sektor tidak juga bergeser dari para korporasi swasta seperti VOC dulu, walau pemiliknya bukanlah orang-orang asing. Mereka menjadi besar karena diuntungkan oleh keistimewaan kebijakan (previllege) di era pemerintahan Orde Baru. Faktanya, ditengah kasus Covid-19 di Indonesia yang masih terus mengalami peningkatan dan membuat Indonesia tergelincir dalam kemerosotan ekonomi pertama kalinya sejak krisis keuangan Asia yang terjadi Tahun 1997, tidak mengubah peta kepemilikan kekayaan nasional.

Berdasarkan data yang dipublikasikan majalah Forbes, pada Hari Kamis tanggal 10 Desember 2020 lalu, dimasa pandemi sekalipun tidak membuat perubahan drastis daftar 50 orang terkaya di Indonesia, walaupun mengalami penurunan kekayaan dibanding tahun lalu, yaitu pengusaha korporasi swasta super kaya Indonesia hanya mengalami penurunan sebesar 1,2 persen menjadi 133 Miliar Dollar Amerika Serikat ($US 133 M). Nilai kekayaan mereka setara dengan Rp 1.875 Triliun (kurs Rp 14.100 per dollar AS), dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah pendapatan negara yang berasal dari pungutan pajak kepada berbagai subyek pajak selama setahun.

Dalam Daftar 50 Orang Terkaya Indonesia Tahun 2020 yang diedarkan oleh Forbes itu, orang paling kaya nomor satu di Republik Indonesia masih ditempati oleh konglomerat Djarum Group, yakni R. Budi Hartono dan Michael Hartono atau dikenal juga dengan duo Hartono. Kekayaan mereka dari berbagai harta (asset) yang dimiliki sejumlah $US 38,8 Miliar atau sekitar Rp 547, 08 Triliun, dan posisi pertama sebagai orang terkaya ini telah ditempatinya selama belasan tahun. Dan, belum ada konglomerat lain yang mampu menggesernya, justru malah termasuk jajaran orang yang mengalami sedikit peningkatan kekayaan selama pandemi Covid-19.

Posisi kedua ditempati oleh keluarga Widjaja, konglomerat pemilik koporasi Sinar Mas Group dengan total kekayaan sejumlah $US11,9 Miliar atau senilai Rp 167.9 Triliun. Posisi ketiga ditempati oleh Prajogo Pangestu, seorang konglomerat pemilik korporasi swasta yang bergerak dalam industri petrokimia, dan seterusnya 47 lainnya diantaranya yaitu Salim Group korporasi swasta/ pengusaha diberbagai sektor industri makanan, Sampoerna Group dengan pemilik Putera Sampoerna, CT Group dengan pemilik Chairul Tanjung, Tahir Group dengan pemilik Dato Tahir, Garibaldi Tohir saudara dari Menteri BUMN Erick Tohir dengan kekayaan Rp 23,27 Triliun serta yang lainnya.

Sementara itu, sangat kontras dengan 50 orang terkaya Indonesia itu adalah kelompok usaha rakyat yang termasuk skala mikro, kecil dan menengah merupakan penopang kehidupan ekonomi keluarga sehari-hari. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020 jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mencapai 64 juta unit. Jumlah skala UMKM ini mencapai 99,9 persen dari keseluruhan usaha yang beroperasi di Indonesia. Artinya 50 pemilik korporasi swasta yang sejumlah 0,1 persen itu menguasai kekayaan (asset) di Indonesia. Padahal, telah berkali-kali Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu terjadi pada Tahun 1965, Tahun 1997 dan Tahun 2008, tapi usaha rakyat tak pernah “mengeluh” dan tetap bertahan (survive).

Untuk mengatasi ketimpangan sektoral dan struktural itu, pemerintah kemudian menempuh strategi pembangunan usaha rakyat skala UMKM dan Koperasi tersebut, diantaranya adalah melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan akses pembiayaan dan perluasan skema pembiayaan, peningkatan nilai tambah produk dan jangkauan pemasaran, penguatan kelembagaan usaha serta peningkatan kemudahan, kepastian dan perlindungan usaha.

Peningkatan akses pembiayaan dan perluasan skema pembiayaan UMKM dan Koperasi dilakukan melalui pengembangan lembaga pembiayaan/bank UMKM dan Koperasi, serta optimalisasi sumber pembiayaan non bank, integrasi sistem informasi debitur UMKM dan Koperasi dari lembaga pembiayaan bank dan non bank, peningkatan kapasitas Koperasi sebagai pengelola resi gudang (quick wins) serta advokasi pembiayaan bagi UMKM dan Koperasi. Sejauh manakah pencapaian kinerja kebijakan pemerintah ini melalui dukungan pembiayaan terhadap skala UMKM tentu membutuhkan sebuah kajian dan evaluasi tersendiri selain adanya peningkatan dana yang telah dialokasikan, salah satunya melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Alokasi Dan Distribusi KUR
Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan salah satu program Pemerintah yang bertujuan untuk mendukung dan meningkatkan skala atau kapasitas usaha rakyat dengan memberikan akses pembiayaan melalui penyediaan alokasi kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta Koperasi (UMKM) dalam upaya mendukung dan meningkatkan perekonomian nasional serta membuka lapangan pekerjaan.

Program KUR ini telah diluncurkan oleh Pemerintah pada tanggal 5 Nopember 2007 saat kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan menjadi salah satu program yang dirancang dalam mendukung kebijakan pro rakyat, termasuk penanggulangan kemiskinan melalui penjaminan kredit, diresmikan pertama kali di kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga 23 November 2020 telah mencapai Rp 147,04 Triliun atau sekitar 77% dari sasaran (target) alokasi penyaluran sebesar Rp 190 Triliun pada Tahun 2020, sebagaimana informasi yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) Kementerian Keuangan, pada Hari Senin (30/11) di media sosial. Berdasarkan data DJPB itu, maka realisasi KUR tersebut telah tersalurkan kepada lebih dari 4,5 juta debitur melalui 44 lembaga penyalur KUR Tahun 2020 yang terdiri dari bank, koperasi dan lembaga pembiayaan.

Apabila alokasi KUR diuraikan berdasarkan data per-Provinsi, maka porsi distribusi per-23 Nopember tersebut didominasi oleh 3 (tiga) Provinsi saja, yaitu Jawa Tengah sekitar Rp 29,13 Triliun, Jawa Timur sejumlah Rp 28,98 Triliun dan Jawa Barat Rp 22,09 Triliun. Kemudian, diikuti oleh provinsi lainnya seperti Sulawesi Selatan sebanyak Rp 8,9 Triliun, DKI Jakarta Rp 3,52 Triliun serta Sumatra Utara Rp 7,15 Triliun.

Sedangkan berdasar lembaga penyalurnya, maka distribusi KUR tertinggi berada pada Bank BRI sekitar Rp 109,32 Triliun untuk 4,3 juta debitur, kemudian Bank Negara Indonesia (BNI) menyalurkan sebanyak Rp 18,10 Triliun untuk 208.312 debitur serta Bank Mandiri menyalurkan sekitar Rp 19,95 Triliun untuk 230.131 debitur.

Namun, apakah realisasi KUR itu sesuai dengan sasaran (target) dalam mengurangi angka kemiskinan atau meningkatkan skala usaha penerima manfaat tentu masih perlu dibuktikan. Sebab, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), persebaran tingkat kemiskinan di Indonesia per-Maret 2020 terjadi hampir merata terjadi di pulau-pulau terbesar dan kaya Sumber Daya Alam Indonesia.

Jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2020 sejumlah 26,42 juta jiwa atau sebesar 9,78%. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 9,41% atau 25,14 juta penduduk. Persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Maluku dan Papua yang terkenal dengan hasil industri perikanan dan kelautannya, yaitu 20,34%. Sementara itu, persentase terendah terdapat di Kalimantan sebanyak 5,81% yang rata-rata menguasai komoditas hasil pertambangan (seperti batu bara, minyak dan gas bumi) dan kehutanan. Lalu, bagaimana halnya dengan angka kemiskinan pada Tahun 2021, yangmana pada bulan Maret 2021 menurut data BPS mencapai 25,94 juta kalau ditambah dengan jumlah pengangguran sebagai konsekuensi tidak bergeraknya perekonomian secara mikro atau perusahaan-perusahan tertentu atas ketidakkonsistenan penanganan pandemi Covid-19, maka jumlah kemiskinan berpotensi mencapai 26 juta lebih.

Sementara itu dari hasil perdagangan internasional (ekspor-impor) pengaruh efek menetes ke bawah dari nilai tambah perekonomian nasional juga tidak memberikan manfaat dan dampak apapun. Sebagai contoh saja, berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, bahwa total nilai ekspor benur Indonesia mencapai US$ 74,28 Juta atau Rp 1,04 Triliun (kurs Rp 14.000/US$). Nilai ini merupakan hasil dari ekspor sejumlah 42 juta ekor benih. Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga DJBC Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat menyampaikan, bahwa ekspor tersebut merupakan transaksi yang terjadi pada periode Juli sampai Oktober 2020. Artinya, nilai ekspor tersebut terjadi hanya dalam 4 (empat) bulan saja, semasa Menteri kelautan dan Perikanan dijabat oleh Edhy Prabowo yang kini jadi tersangka dalam dugaan kasus korupsi perizinan ekspor benih lobster tersebut.Total keseluruhan benih lobster yang diekspor adalah sejumlah 42.290.999 ekor benih dengan nilai ekspornya US$ 74.281.386.

Di lain pihak, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bahwa terdapat lonjakan ekspor benih lobster pada bulan Agustus 2020 yang mencapai US$ 6,43 Juta atau bernilai Rp 94,5 Miliar (kurs Rp 14.700 per dolar AS) walau perekonomian global menghadapi tertekan pandemi Covid-19. Angka tersebut merupakan nilai dari volume ekspor benih lobster sejumlah 4,216 ton. Dan, mengacu kepada data nilai ekspor benur tersebut, maka jelas terdapat adanya perubahan dalam penerimaan negara dari adanya kebijakan membuka izin ekspornya.

Apakah data penyaluran KUR yang setiap tahun alokasinya terus meningkat dilakukan oleh BUMN Perbankan dan lembaga keuangan lainnya membawa dampak signifikan dalam mengatasi ketimpangan sektoral dan struktural serta upaya penanggulangan kemiskinan, tentu ini bukan menjadi tugas pokok dan fungsi lembaga penyalur. Atas kondisi inilah perlunya suatu upaya perbaikan dalam pengelolaan usaha rakyat skala UMKM yang telah memperoleh KUR agar mampu tumbuh dan berkembang pesat dan meningkat kategori skala usahanya (naik kelas).

Apabila kita dan terutama Presiden Joko Widodo memahami Pasal 33 UUD 1945, maka usaha bersama adalah prinsip dari susunan perekonomian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, koperasi berperan sebagai badan hukum yang dinyatakan langsung sebagai entitas ekonomi dan bisnis dapat dan berhak melakukan ekspor dan impor sebagai bagian dari rantai distribusi (supply chain) komoditas yang diperdagangkan.

Melalui koperasi inilah hasil-hasil perdagangan tersebut akan dinikmati oleh para anggota yang terdiri dari para petani, nelayan, peternak, dan pekebun. Artinya, permasalahan kemiskinan yang terjadi terkait dengan jangkauan (akses) ekonomi yang timpang pada sektor-sektor tertentu akan dapat diatasi secara langsung efek menetes ke bawahnya (trickle down effect) melalui pro pendekatan kebijakan kelembagaan ekonomi. Oleh karena itu, ke arah inilah penanganan pandemi ketidakadilan ekonomi melalui anggaran yang pro kemiskinan (pro poor budget) digelontorkan secara massif.

Namun pertanyaan yang lebih penting adalah, apakah selama selama 6 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo) nilai tambah ekonomi diperoleh juga oleh para nelayan, rasanya memang tidak. Untuk itulah, Presiden harus memperhatikan secara serius dan sungguh-sungguh atas realisasi janji kampanye saat Pemilihan Presiden terkait program Trisakti dan Nawacita yang dulu agar tidak berpotensi mencederai kepemimpinannya di kemudian hari.

Seharusnya pemanfaatan KUR bagi kelompok sasaran masyarakat untuk mengatasi ketimpangan sektoral dan kemiskinan struktural melalui kebijakan keberpihakan nyata melalui peningkatan berbagai akses untuk usaha Koperasi dan UKM yang akan berdampak pada pendapatan masyarakat melalui program-program Kementerian terkait yang dibebankan tugas pokok dan fungsi ini. Terutama sekali diarahkan pada Menteri Koordinator Perekonomian yang bertanggungjawab dalam peningkatan efektifias kebijakan alokasi dan distribusi KUR ini agar skala UMKM mengalami peningkatan kekayaan (asset) sebagaimana capaian para korporasi swasta tersebut.

Hal ini sangat penting diperhatikan, karena sumbangan pelaku usaha rakyat skala UMKM dan Koperasi ini pada perekoniomian nasional dalam bentuk Produk Domestik Bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja terbesar dibandingkan dengan pelaku usaha korporasi swasta yang memiliki kekayaan terbesar di Indonesia. Berdasarkan data BPS Tahun 2013, kontribusi UMKM dan Koperasi atas PDB adalah sebesar 60,34%, sedangkan Tahun 2020 kontribusinya mencapai 61%, disatu sisi. Sementara disisi yang lain, sumbangan skala UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai sangat besar, yaitu 96,99% dan kontribusinya pada total ekspor non migas adalah sebesar 15,68%.

Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo harus serius menangani skala UMKM ini sebagai bagian dari janji dan program pro ekonomi rakyat yang telah ditawarkan saat kampanye sebelum pemilihan umum Presiden secara langsung Tahun 2014, sehingga menjadi daya tarik sebagian besar kelompok masyarakat ini untuk memilihnya. Penting dan mendesak bagi Presiden untuk mengevaluasi kinerja para pembantunya yang terkait dengan program pro poor ini dan salah satu caranya adalah mengangkat para pembantu yang bukan berasal dari para pengusaha dan partai politik, tapi apa mungkin Presiden “berani” melakukannya? (*)

  • Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *