Headlines

Proyeksi Kebutuhan Subsidi Elpiji Rumah Tangga Serta Dampaknya Pada Angka Kemiskinan

Sebagaimana publik ketahui, bahwa subsidi elpiji 3kg ini pada dasarnya ditujukan untuk masyarakat miskin saja, namun faktanya beban dan kuota subsidi LPG membengkak. Namun, solusi atas kelebihan kuota yang membuat melampaui batas alokasi anggaran subsidi, tak bisa hanya dilakukan secara parsial, misalnya dengan kebijakan penyaluran secara langsung, sementara pengaruh Harga Eceran Tertinggi (HET) tak diperhatikan.

Pertanyaannya adalah, apakah benar dan faktual penyaluran subsidi elpiji 3kg kepada kelompok masyarakat miskin sudah tepat sasaran? Oleh sebab itu, pemerintah harus melakukan kajian data dan pemetaan terlebih dahulu terhadap rekam jejak alokasi subsidi elpiji 3kg tersebut, benarkah kelompok masyarakat miskin yang menjadi penyebab, dan apa tindakan hukum (punishment) jika terjadi salah sasaran?.

Mengacu pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah disebar luaskan ke publik (release) mengenai jumlah kemiskinan, tampak bahwa pada periode September 2019 telah terdapat penurunan sejumlah 350.000 orang dari 25,14 juta orang pada periode Maret 2019 menjadi 24,79 juta orang. Angka kemiskinan inipun telah mengalami penurunan sejumlah 880.000 orang dibandingkan dengan periode yang sama pada bulan September 2018, yaitu sejumlah 25,67 juta orang. Meskipun terjadi penurunan angka kemiskinan, namun terdapat permasalahan yang cukup mendasar atas data tersebut, yaitu tingginya disparitas kemiskinan antara di kota dan di desa.

BPS, juga menjelaskan bahwa persentase penduduk miskin di desa pada September 2019 mencapai 12,60 persen. Sementara persentase penduduk miskin di kota pada periode tersebut adalah 6,56 persen. Celah atau gap kemiskinan antara di kota dan di desa ini selalu terjadi setiap BPS melakukan survey yang telah dijadwalkan dalam setahun sejumlah 2 (dua) kali. Dan berbagai data tersebut harus dilakukan pemetaannya supaya berbagai kebijakan atas penanggulangan kemiskinan bukan sekedar proyek saja.

Terhadap kebijakan penyaluran langsung subsidi elpiji 3kg oleh pemerintah c.q. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menata kelola industri hilir gas untuk kelompok masyarakat miskin, maka berbasis data BPS tersebut, berikut proyeksi dan kalkulasi sederhana. Misalnya, jumlah orang miskin saat ini adalah 24,79 juta orang, maka apabila diasumsikan setiap Rumah Tangga/Kepala Keluarga (KK) orang miskin beranggotakan rata-rata 5 orang, yang berhak dapat alokasi subsidi LPG 3kg adalah sejumlah 4,98 juta KK atau 5 juta KK. Berarti kelompok sasaran penerima alokasi subsidi elpiji 3 kg jika setiap bulan KK ini misalnya menggunakan 3 tabung per bulan akan membutuhkan 15.000.000 tabung. Kebutuhan KK miskin ini dalam setahun atau 12 bulan atas jumlah tabung elpiji 3kg adalah : 15.000.000 x 12 = 180.000.000 tabung atau 540.000.0000 kg elpiji. Dan, apabila HET elpiji 3kg Rp 18.000 per tabung, maka para agen atau pangkalan agen akan memperoleh angka penjualan sejumlah Rp 3,24 Triliun per tahun.

Melalui keterangan resminya pada bulan April 2019 lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 61 K/12/MEM/2019 tentang Harga Patokan Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram Tahun Anggaran 2019. Kementerian ESDM menjelaskan, harga patokan LPG tabung 3 kg ditetapkan 103,85% HIP LPG Tabung 3 Kg + US$ 50,11/MT + Rp 1.879,00/kg, serta digunakan sebagai dasar perhitungan harga patokan untuk setiap kilogram LPG tabung 3 kg.

Implikasi dari Kepmen ESDM berdasarkan data pemerintah, anggaran untuk subsidi LPG mengalami penurunan atas formula lama, anggarannya adalah Rp 75,22 Triliun, sedangkan dengan formula baru sejumlah Rp 70,92 Triliun, di satu pihak. Di lain pihak, pemerintah mengklaim telah terjadi penurunan angka kemiskinan, namun mengeluh atas alokasi subsidi elpiji 3kg Tahun 2019 yang membengkak, lalu siapakah yang menikmati subsidi itu? Tepatkah kemudian ditindaklanjuti dengan menurunkan alokasi subsidi LPG dalam APBN Tahun 2020 sejumlah Rp2,6 Triliun. Sedangkan total pengurangan subsidi pada APBN 2020 adalah sejumlah Rp 10,015 Trilyun, yang berarti pengaruh penurunan ICP yang sejumlah Rp 12,6 Triliun atas pengurangan subsidi energi hanya sejumlah Rp 1,04 Triliun. Artinya pengurangan subsidi energi untuk kelompok masyarakat miskin lebih besar dibanding dengan penurunan ICP.yang berlaku.

Kesimpulan atas alokasi ini, yaitu pemerintah jelas akan membuka peluang kebijakan menaikkan harga produk energi, BBM, LPG dan listrik, dan siapakah yang dapat manfaatnya? Mengapa pemerintah tak mengambil kebijakan menaikkan harga gas industri dan memetakan kelompok industri mana saja yang akan diberikan insentif untuk mendorong usaha industri dalam menggerakkan perekonomian nasional?

Harus diperhatikan dengan cermat, bahwa berbagai kebijakan penyaluran subsidi elpiji 3kg yang akan diambil, baik secara terbuka atau tertutup/langsung akan memiliki eksternalitas pasar. Dampak atas rencana penyaluran langsung elpiji 3kg kepada masyarakat juga akan menimbulkan potensi ketidaktepatan sasaran apabila mengacu pada data BPS tersebut. Dengan alokasi subsidi LPG pada APBN Tahun 2020 sejumlah Rp 52 Triliun dan dengan angka kemiskinan terkini sejumlah 24,79 juta orang, maka subsidi per kapita adalah Rp 2.068,4. Cukupkah subsidi LPG sebesar ini untuk menghidupi kelompok masyarakat miskin apabila harga elpiji 3k g yang beredar ditengah masyarakat Rp 18.000÷21.000?

Sementara harga kebutuhan pokok cenderung akan meningkat dan akan menberatkan berbagai pengeluaran masyarakat miskin yang terbatas pendapatannya. Apalagi kalau subsidi elpiji 3kg itu dialokasikan hanya sebesar Rp 1.000 dalam APBN Tahun 2020. Ini akan membuka potensi kemiskinan baru, jika rata-rata kebutuhan KK atas elpiji 3kg per bulan adalah 3 tabung, maka pengeluaran setiap RTM sejumlah Rp 54.000 sd 63.000. Apabila indikator kemiskinan BPS tak berubah mengenai batas kemiskinan, yaitu konsumsi 2.100 kalori dan pendapatan Rp 401.220 per kapita per bulan, maka dengan dikurangi dengan pengeluaran untuk pembelian elpiji 3kg itu, maka akan tersisa Rp 347.220 – Rp 338.220 untuk membeli kebutuhan pokok lain, kebutuhan gizi apalagi yang bisa dipenuhi kelompok masyarakat ini, terlebih dana pendidikan juga masih ada pungutan.

Sebaiknya pemerintah lebih memilih melakukan kajian data dan pemetaan kelompok masyarakat penerima terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan penyaluran langsung elpiji 3kg kepada masyarakat. Tanpa memperhatikan pengaruh jaringan distribusi selama ini terhadap pembentukan harga elpiji 3kg yang berlaku, maka penyaluran secara langsung ini hanya memberikan peluang usaha kepada swasta lain yang akan menjadi penyalurnya. Sementara harga elpiji 3kg ditingkat agen dan pangkalan agen sudah memberatkan masyarakat miskin. Kalaupun pemerintah ingin menyalurkan secara langsung elpiji 3kg tersebut, maka dapat memberdayakan kelembagaan masyarakat yang telah ada di tingkat desa dan kelurahan dan memiliki data lebih akurat sehingga ketidaktepatan sasaran minimal.

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *