Rawan Penipuan, Hati-hati Terjerat Asmara Online
Asmat – Mendapatkan kekasih atau pasangan dari bangsa atau warga negara asing, bisa jadi merupakan mimpi banyak warga Indonesia. Tapi satu hal yang perlu diingat, selalu berhati-hati saat kepincut seseorang secara online. Hal tersebut ditekankan oleh Founder Indopinups & CSE Educator – Descha Muchtar.
Kata Descha, urusan hati atau asmara bisa masuk dalam bentuk phising atau praktik pengelabuan secara digital. Dikenal dengan istilah Romance Fraud atau penipuan asmara, Descha memaparkan praktik tersebut terjadi di mana penipu mencoba membuat korbannya percaya hingga jatuh cinta.
“Korbannya kebanyakan perempuan tapi ada juga laki-laki. Korban dibuat percaya dan jatuh cinta. Ini banyak sekali perempuan Indonesia yang menjadi korban. Misal ketemu via aplikasi kencan online lalu melakukan romance di hotel, direkam dan disebarkan di situs porno,” kata Descha.
Ia melanjutkan, sudah banyak perempuan Asia – bukan hanya orang Indonesia, yang telah mengalami Romance Fraud seperti itu. Tak jarang, lanjutnya, korban tidak hanya rugi secara materi tetapi bahkan masuk dalam jaringan perdaganan manusia.
Descha sendiri hadir dalam webinar Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kabupaten Asmat, Papua, Rabu (7/6/2021) bersama narasumber lain seperti Irma Utari, Petrus Supardi, Paulus r.t Paramma dan Sri Rahmah Dani.
Dalam paparan lain, Petrus Supardi yang terlibat dalam gerakan pembardayaan masyarakat dan isu pluralisme serta toleransi di Papua menjabarkan bagaimana isu pluralisme terkoyak lantaran penggunaan digital yang keliru.
“Saat ini pemanfaat internet berhadapan dengan realitas sosial masyarakat Indonesia yang beragam. Padahal perbedaan menuntut sikap toleransi. Kita tidak bisa serta merta membuat stigma dari perspektif kita,” kata Petrus.
Ia melanjutkan bagaimana toleransi memiliki dua makna penting yaitu menerima perbedaan sebagai anugrah dan menghormati perbedaan itu sendiri.
Menurut hemat Petrus, munculnya sikap intoleransi di dunia digital terjadi akibat tingkat pemahaman, penafsiran dan pengalaman nialai agama, indoktrinasi agama sebagai satu-satunya kebenaran mutlak yang dapat memicu terjadinya fanatisme sempit yang berujung pada sikap intoleransi.
Selain itu, intoleransi di dunia digital juga terjadi akubat tidak mau mengakui kemajemukan, keberbedaan serta pendidikan pluralisme yang tergerus dunia dan cenderung lebih individualistik.
Lalu, apa saja yang bisa dilakukan untuk membangun budaya toleransi khususnya dunia digital?
Petrus menekankan pentingnya penghayatan dan pengalaman Pancasila dan menghentika terminologi mayoritas versus minoritas.
“Kedua meningkatkan pendidikan humaniora dan budi pekerti di kalangan generasi muda dan ketiga merefleksikan penderitaan manusia, kemiskinan dan perusakan alam untuk menggerakkan solidaritas dan toleransi antarumat manusia di Indonesia,” pungkasnya.