Dosen Pertanian Temukan Teknik Rekayasa Pengolahan Kopi Kintamani.
Denpasar – Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa, I Gede Pasek Mangku berhasil menemukan teknik rekayasa pengolahan kopi arabika Kintamani. Rekayasa dilakukan dengan menganalisis suhu dan waktu fermentasi untuk meningkatkan mutu dan citarasa kopi. Termasuk juga melakukan rekayasa terhadap teknik penyangraian dan tempering atau pendinginan untuk menghasilkan produk kopi dengan senyawa bioaktif tinggi dan kadar akrilamida rendah.
Penurunan kadar akrilamida menjadi penting karena merupakan senyawa karsinogenik bagi manusia dan dalam jumlah yang tinggi akrilamida dapat merusak sistim saraf.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pengolahan kopi dengan fermentasi pada suhu sekitar 40 oC dalam waktu 20 jam akan menghasilkan kopi yang memenuhi standar mutu SNI 01-2907-2008 dan memiliki kandungan senyawa prekursor citarasa yang cukup tinggi. Metode sangrai dan pendinginan yang dilakukan juga memberikan berpengaruh terhadap komponen bioaktif.
“Penyangraian dengan metode temperature rendah dalam waktu panjang, selama 35 menit dan tempering blower dapat menghasilkan biji kopi sangrai arabika Kintamani dengan kandungan senyawa bioaktif tertinggi, dengan kandungan asam klorogenat 6,04 % dan kafein 0,98 %. Selain itu kadar akrilamida yang rendah 1,84 mg/kg” kata Pasek Mangku saat mempertahankan disertasi hasil penelitiannya dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana yang diselenggarakan secara online melalui aplikasi webex pada Jumat (29/5).
Menurut pria kelahiran Singaraja, 11 Oktober 1966 tersebut, peningkatan mutu dan citarasa kopi sangat dibutuhkan untuk dapat meningkatkan daya saing produk kopi baik ditingkat nasional maupun internasional.
Dewasa ini peningkatan daya saing produk kopi tidak cukup hanya memperbaiki dari aspek mutu dan citarasa tapi trend masyarakat sudah mulai mengarah ke aspek manfaat kesehatan serta tingkat keamanan dari produk kopi yang dihasilkan. Mutu, citarasa, dan keamanan biji kopi sangrai dapat dipengaruhi oleh mutu bahan baku dan proses pengolahannya, sedangkan mutu fisik dan komposisi kimia biji kopi beras dipengaruhi oleh faktor budidaya dan metode pengolahannya.
Mangku menyampaikan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kopi arabika Kintamani tidak mengandung asam amino asparagin yang merupakan prekursor utama dalam pembentukan akrilamida, sehingga diduga pembentukan akrilamida akan melibatkan asam amino lain yang memiliki potensi lebih rendah dari asparagin. “Jenis asam amino hidrofobik terbanyak yang ditemukan pada biji kopi arabika Kintamani adalah leusin dan asam amino hidrofilik terbanyak adalah asam glutamat. Asam amino yang dominan berperan dalam pembentukan senyawa akrilamida adalah lisin, serin, asam aspartat, tirosin, dan methionine” papar Mangku yang merupakan Ketua Jurusan Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa periode 2007-2001.
Keberadaan senyawa akrilamida pada biji kopi sangrai tidak dikehendaki karena bersifat karsinogenik dan neurotoxin. Senyawa akrilamida merupakan hasil samping yang terbentuk akibat reaksi maillard antara gugus karbonil dari gula pereduksi dengan gugus amino dari asam amino atau protein dengan adanya panas yang tinggi. Semakin tinggi suhu dan semakin lama pemanasan maka kandungan akrilamida akan semakin banyak. Biji kopi sangrai arabika Kintamani setelah penyangraian dan tempering masih mengandung senyawa akrilamida dengan kadar yang rendah yaitu berkisar antara 0,37- 4,91 mg/kg.
Mangku menyebutkan salah satu hal istimewa dari kopi arabika Kintamani yaitu komponen penyusun aroma biji kopi sangrai arabika Kintamani didominasi oleh bahwa senyawa pirazin. Semakin tinggi suhu penyangraian maka kandungan senyawa pirazin pada kopi akan semakin berkurang.
Ia berharap pelaku usaha dalam mengembangkan industri pengolahan kopi perlu lebih memperhatikan metode pengolahannya karena mutu, kandungan senyawa bioaktif serta kadar akrilamida pada produk kopi yang dihasilkan tidak hanya dipengaruhi oleh mutu bahan baku yang digunakan tapi juga dipengaruhi oleh metode pengolahanya.
“Permasalahan yang sering ditemukan pada kelompok petani serta pelaku usaha kecil dalam mengolah kopi adalah kondisi kadar air biji kopi yang masih relatif tinggi yaitu 12-18 %, kemudian metode pengolahan yang tidak konsisten dan bervariasi antar kelompok petani. Hal ini mengakibatkan mutu, citarasa dan tingkat keamanan produk kopi yang dihasilkan kelompok tani di Bali cukup beragam” ungkap Mangku.
Berdasarkan data BPS Provinsi Bali, jumlah total produksi kopi arabika pada tahun 2018 adalah 4.217 ton. Dimana produksi kopi arabika tertinggi dihasilkan oleh Kabupaten Bangli sebesar 2.252 ton, disusul Kabupaten Buleleng 1.237 ton, dan Kabupaten Badung 598 ton. Kondisi ini menunjukkan bahwa peluang usaha untuk mengembangkan industri pengolahan kopi (industri hilir) masih sangat prospek di masa yang akan datang.
Sedangkan Prof.Ir. I Made Anom S. Wijaya. M. App.Sc.Ph.D selaku promotor mengakui hasil penelitian promovendus cukup membanggakan karena mampu menemukan sebuah metode pengolahan kopi yang menghasilkan citarasa spesifik. Kopi yang dihasilkan juga aman di konsumsi karena memiliki kandungan akrilamida yang sangat rendah.
Temuan promovendus menjadi sumbangan yang berharga bagi industri kopi di Bali, sehingga bisa diadopsi oleh pengusaha dan petani kopi Bali. “suatu hasil yang bisa di aplikasikan di masyarakat dan bisa ditiru oleh pelaku pengusaha kopi dalam pengolahan untuk mendapatkan cita rasa yang baik” ungkap Anom Wijaya.
Anom Wijaya berharap promovendus dapat melanjutkan penelitian untuk mengetahui aspek ekonomi dari metode rekayasa yang dikembangkan dan dapat menyederhanakan teknologi yang digunakan sehingga dapat diikuti oleh masyarakat. Promovendus juga diharapkan segera mengajukan paten terhadap temuan yang didapatkan selama penelitian. (*)