Kritisi Rezim Representasi, Karya 20 Perupa Muda Dipamerkan
Gianyar- 20 perupa muda (emerging artist) berpameran bersama dalam ARC of Bali Reloaded Project #2019 di Bentara Budaya Bali (BBB), Jl. Prof. Ida Bagus Mantra no.88A, Ketewel, Gianyar.
Karya-karya mereka kali ini berangkat dari kerangka kuratorial untuk melakukan refleksi kritis perihal fenomena rezim “representasi” yang menguasi kehidupan masyarakat dewasa ini.
Pameran yang dikuratori Wayan Seriyoga Parta dan Made Susanta Dwitanaya dari Gurat Institute ini akan diresmikan pada Sabtu (08/06) pukul 18.30 WITA.
Para perupa yang berpameran adalah para nominator ARC of Bali 2018 dan undangan terpilih. Mereka antara lain: Ida Bagus Gde Adi Jaya Artha, Agus Ramantha, I Made Budiyasa, Luh Gede Gita Sangita Yasa, Ngakan Putu Agus Arta Wijaya, Ni Nengah Mega Risna Dewi, I Kadek Suardana, I Ketut Suryawan, I Wayan Suwarita, Tri Akta Bagus Prasetya, I Made Marthana Yusa, Putu Suhartawan, Putu Dudik Ariawan, I Nyoman Kariasa, I Made Jendra, I Nyoman Suarnata ‘Rako, I Gede Jaya Putra ‘Dekde’, I Ketut Kerta Yoga, Luh De Widya, Ketut Gede Susana.
Secara khusus, eksibisi kali ini merujuk tajuk “X”-tion, sebuah idiom utak-atik teks yang berpijak dari “representasi” dengan penegasan pada persoalan “present” yang merujuk pada persoalan sosial saat ini mengenai efek dari representasi.
Kemudian diakhiri dengan kata action (aksi), berupa tanggapan yang lahir dari intepretasi perupa. Gabungan frase tersebut kemudian memunculkan idiom “x”tion untuk singkatan ‘action, ‘X’ dapat bermakna sebagai semacam misi khusus untuk menanggapi suatu persoalan.
Wayan Seriyoga Parta juga mengungkapkan bahwa penyikapan tersebut bukanlah berupa penyikapan verbal, tetapi refleksi yang diwujudkan melalui komposisi rupa, melalui kekuatan visual, berupa persuasi yang dapat menggungah perhatian apresiator, harapan selanjutnya dapat menyentuh pada kesadaran diri.
Adapun pameran ini akan berlangsung hingga 18 Juni 2019 mendatang, menampilkan 21 karya seni rupa terpilih.
Dalam perkembangan budaya digital, seni lukis realis mendapatkan tantangan yang besar. Memunculkan sejumlah pertanyaan, semisal perihal posisi seni lukis realis di era digital kini, atau peran seni lukis realis dalam mengkritis rezim digital.
Seni lukis khususnya seni realis sudah lama turut memakai media digital sebagai bagian dari alat bantu menangkap realitas, akan tetapi seni realis selayaknya tidak hanya menyalin realitas sebagaimana dicibir oleh Plato melalui konsep memesisme itu.
Seni lukis yang melibatkan rasa (sensibilitas), sudah selayaknya juga menghadirkan penyikapan kritis terhadap kondisi dan semangat zaman.
Menurut Susanta Dwitanaya, pameran dibuat menjadi beberapa program, menggabungkan kecenderungan karya para perupa yang terlibat. Penyelenggaraannya bekerja sama dengan beberapa venue di Bali dan luar Bali. Sebelumnya, ARC of Bali Reloaded Project #2019 juga digelar di Santriyan Gallery, Sanur, pada 15 Maret – 15 April 2019, mengusung tema “Inner Expression”.
Adapun pameran ini juga rangkaian dari ARC of BALI Art Award yang telah terselenggara sejak tahun 2018, dan merupakan program rutin dua tahunan yang mengangkat potensi perupa pemula (emerging artists).
Lebih lanjut diutarakan oleh Wayan Seriyoga Parta, bahwa kerangka kurasi yang disiapkan dalam program ini, bertujuan memberi pendampingan untuk memperkuat gagasan visual dan mendorong perupa untuk melakukan riset-riset visual.
“Sehingga karya yang dihadirkan merupakan hasil olah rupa yang dibarengi dengan konsepsi yang mumpuni,” katanya.
Putu Aryastawa selaku penanggungjawab pameran BBB mengungkapkan bahwa BBB selalu dengan sukacita bekerjasama dengan para seniman muda, atau siapa saja, yang kritis pada segala fenomena, sekaligus bersedia melakukan otokritik atau mulat sarira. (*)