LBH Pers: Tidak Ada Ruang DP Monopoli Kewenangan

0

pemohon dan Kuasa Hukum tiga organisasi pers Indonesia yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) melalui Kuasa Hukumnya yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.

Pengujian UU Pers mempermasalahkan 2 Pasal yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf f terkait kewenangan Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam membentuk peraturan dibidang pers dan Pasal 15 ayat (5) terkait keanggotan Dewan Pers yang ditetapkan, dengan Keputusan Presiden. Berdasarkan hal tersebut dengan ini kami menyampaikan:

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian dari memfasilitasi sendiri adalah: “memberikan fasilitas”. Selanjutya dalam sumber yang sama, fasilitas artinya: “sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi, kemudahan”.

Artinya, pada konteks fungsi Dewan Pers dalam membentuk peraturan pada bidang pers, khususnya pada Pasal 15 ayat (2) huruf f adalah menjadi pihak yang memberikan sarana untuk melancarkan fungsi dan kemudahan kepada organisasi pers untuk berkontribusi dan ambil bagian dalam membentuk peraturan di bidang pers.

Persiapkan IQ dan EQ di Era Digital

Sebagai fasilitator, maka jika terdapat pembentukan peraturan di bidang pers tanpa mengikutsertakan organisasi pers maka barulah bisa dianggap bertentangan dengan fungsi dalam UU Pers sendiri.

Seandainyapun terjadi, permalasahan berada di tataran implementasi bukan pada tataran normatif dengan memintakan Dewan Pers kehilangan sebagian fungsinya sebagai fasilitator organisasi pers membentuk peraturan di bidang pers.

Mencermati posita para Pemohon mengenai memfasilitasi adalah menginginkan penyusunan peraturan-peraturan bidang pers dilakukan oleh masing-masing organisasi pers, bukan dalam bentuk peraturan Dewan Pers.

OJK Bali Nusra Teken Pakta Integritas Berikan Kinerja Terbaik

Hal tersebut dikhawatirkan justru membuat peraturan-peraturan bidang pers dapat menjadi tidak kohesif, terpisah sendiri-sendiri sesuai selera dan kepentingan organisasi-organisasi pers, dan bahkan berpotensi bertentangan satu dengan yang lain.

Hal ini berpotensi membuat munculnya kode etik jurnalistik yang tidak baku dan beragam penafsiran sesuai versi masing-masing organisasi pers. Dikhawatirkan justru memunculkan kebingungan massal pada insan pers Indonesia dan mengganggu kebebasan serta profesionalitas pers. (riz) ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *