Tingkatkan Ekonomi Masyarakat, KKP Kembangkan Desa Wisata Hiu Paus

0

JAKARTA – Hiu paus (Rhincodon typus) sebagai biota dilindungi memiliki daya tarik untuk dikembangkan sebagai aset wisata bahari. Guna meningkatkan nilai tambah ekonomi masyarakat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) berencana menjadikan atraksi wisata hiu paus sebagai bagian dari pengembangan desa wisata (dewi) bahari.

Direktur Jasa Kelautan (Jaskel) Ditjen PRL, Miftahul Huda menegaskan hiu paus akan menjadi bagian dari pengembangan dewi bahari dengan tetap menjaga keberlangsungan biota tersebut.

“Kami berharap dengan pengembangan dewi bahari dengan ekosistem yang ada, biota yang ada, berkembang juga nilai tambah ekonomi masyarakat. Harapannya, ketika masyarakat terlibat dari awal, mulai dari proses perencanaan hingga eksekusinya, mereka dengan sendirinya akan ikut melestarikan biota tersebut dan memperbaiki kondisi pemukimannya,” jelas Huda dalam Diskusi Sore Wisata Hiu Paus yang diselenggarakan secara telekonferensi, pada Senin (27/4).

Huda menjelaskan ketika hiu paus menjadi bagian dari pengembangan dewi bahari, maka proses perencanaannya akan berbasis komunitas.

Tahapan pengembangannya terdiri dari perencanaan berbasis komunitas, pembinaan, pembangunan infrastruktur, pengembangan ekonomi, dan monitoring evaluasi. Konsep dewi bahari, tidak hanya mengangkat hiu pausnya, tetapi juga akan mengembangkan desanya, sehingga tumbuh aktivitas ekonomi yang lain.

“Jangan sampai keberadaan hiu paus hanya dinikmati sebagian orang atau pelaku wisata tetapi masyarakat desa tertinggalkan. Dengan konsep itu kita ingin melihat partisipasi desa dari sisi ekonomi dan dari sisi upaya pelestarian biota yang ada disana,” pungkasnya.

Perairan Indonesia merupakan habitat hiu paus, hal ini terbukti dengan seringnya jenis biota ini ditemui di beberapa wilayah perairan Indonesia seperti perairan Sabang, Situbondo, Botubarani – Bonebolango, Talisayan – Berau, Pantai Bentar – Probolinggo, Laut Sawu – NTT, Teluk Saleh – NTB, Kaimana, dan Teluk Cenderawasih – Papua.

Di beberapa lokasi, kemunculannya telah dijadikan sebagai atraksi wisata bahari. Kegiatan wisata bahari yang dilakukan di lokasi kemunculan hiu paus meliputi aktivitas pengamatan melalui perahu, aktivitas snorkeling dan menyelam.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, Andry Sukmoputro menyampaikan di Botubarani Gorontalo, pengembangan wisata hiu paus telah dimulai sejak tahun 2015, saat liputan hiu paus berinteraksi dengan manusia dipublikasikan di media sosial. Hiu paus menarik karena dikenal jinak sehingga menjadi daya tarik sebagai biota wisata walaupun secara faktual, ini merupakan biota yang dilindungi secara penuh.

“Mengenai rencana pengembangan wisata hiu paus di Botubarani Gorontalo, kami sudah melakukan beberapa kajian termasuk potensi dan permasalahannya, juga model penataan zonasi yang akan diterapkan, kemudian bagaimana cara berinteraksi dengan hiu paus dan model pengembangannya. Kita juga sudah buatkan dalam bentuk roadmap,” jelas Andry.

Andri mengungkapkan masyarakat nelayan di Botubarani Gorontalo mendapat pemasukan dari menyewakan perahunya untuk melihat hiu paus. Satu paket penyewaan kapal dan makanan (kepala udang) hiu paus dikenakan biaya sebesar 80 ribu rupiah.

Pada tahun 2016, tercatat 32.000 wisatawan yang datang menyewa perahu, sementara tahun 2017 terdapat 13.000 wisatawan, tahun 2018 tercatat 18.000 wisatawan, dan tahun 2019 terdapat 12.465 wisatawan yang datang ke lokasi setempat.

“Ini merupakan potensi besar untuk dikembangkan di Botubarani. Sekarang tinggal bagaimana mengelolanya, biaya masuknya berapa. Perlu diinformasikan juga untuk menyewa satu paket alat selam dikenakan biaya sebesar 500 ribu rupiah. Bisa dibayangkan jika seandainya 30% wisatawan datang menyewa, maka rata-rata bisa mencapai Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar ekonomi yang bisa bergerak di sana,” tutupnya.

Diskusi sore wisata hiu paus yang dilakukan secara telekonferensi dihadiri lebih dari 100 orang peserta yang terdiri dari akademisi, pelaku wisata, mitra konservasi, pemerhati hiu paus serta perwakilan Ditjen PRL.(fik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *