Kunto Aji, Reality Club, Teddy Adhitya, Sukatani dan Sederet Musisi Indonesia Bergabung dalam IKLIM, Suarakan Darurat Lingkungan

Kabardenpasar, Ubud, 27 Juni 2025 – Di tengah tantangan lingkungan yang semakin mendesak di Indonesia, 15 musisi dari berbagai daerah dan genre termasuk Kunto Aji, Reality Club, Teddy Adhitya, Sukatani,dan sejumlah nama lainnya, berkumpul di Ubud, Bali, untuk mengikuti rangkaian lokakarya.
Melalui IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab), para musisi inimendalami berbagai isu tentang krisis iklim serta kaitannya dengan musik, kreativitas, danrefleksi pribadi. Dalam serangkaian lokakarya yang digelar selama lima hari ini, para musisimembahas akar penyebab krisis iklim, peran seni dan budaya dalam mendorong aksi, sertamerumuskan langkah kolaboratif untuk mendorong perubahan nyata.
Lokakarya yang diselenggarakan oleh IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts &Music Lab) juga mempersatukan para musisi dari berbagai daerah dan lintas genre di Indonesia,termasuk Ave The Artist, Bunyi Waktu Luang, Chicco Jerikho, Egi Virgiawan, Majelis LidahBerduri, Manja, Peach, Scaller, The Brandals, The Melting Minds, dan Usman and The BlackStones. Bersama-sama, mereka terlibat dalam diskusi dan kolaborasi artistik yang membahas berbagai isu lingkungan yang mendesak. Seperti ancaman terhadap kawasan Raja Ampat yangmemicu gerakan #SaveRajaAmpat, ekspansi pertambangan nikel di Morowali, deforestasi, hinggaketergantungan Indonesia terhadap batu bara yang masih tinggi.
Gerakan IKLIM sendiri telah berjalan sejak 2023 dan hingga kini telah melibatkan 43 musisi.Sejumlah musisi yang sebelumnya terlibat dalam album sonic/panic dan gerakan IKLIM pada2023 dan 2024 kembali berkontribusi tahun ini sebagai fasilitator dalam berbagai sesi danmembagikan pengalaman pribadi mereka terlibat dalam IKLIM, seperti Cholil Mahmud dari EfekRumah Kaca, Iga Massardi, Endah Widiastuti dari Endah N Rhesa, Petra Sihombing,Tuantigabelas, Stephanus Adjie dari Down For Life, Farid Stevy dari FSTVLST, dan Nova Ruth,serta Gede Robi dari Navicula yang juga merupakan co-founder gerakan IKLIM.
Kehadiranmereka memperkaya proses pembelajaran lintas generasi dan memperkuat semangat kolaboratifdalam menjawab tantangan krisis iklim melalui musik dan seni.Bagi penyanyi dan penulis lagu ternama Kunto Aji, isu iklim memiliki resonansi yang kuat secarapersonal.
“Saya tinggal di Tangerang Selatan, dan setiap hari harus menghadapi kualitas udarayang buruk. Saya punya dua anak kecil, dan saya ingin mereka tumbuh dengan udara yang layak,lebih baik dari yang mereka hirup hari ini,” ujarnya.
“Udara itu kan gratis, tapi kenapa kita nggakbisa menikmatinya dengan baik? Kita tahu penyebab dan solusinya, tapi tidak ada tindakannyata. Di situlah saya merasa perlu bertanya: sebagai musisi, apa yang bisa saya lakukan?
”Di tengah krisis iklim yang kian kompleks, musik dan seni memainkan peran penting dalammembangun kesadaran dan mendorong aksi publik. Didampingi para pakar dari berbagaiorganisasi iklim, para musisi belajar bersama tentang isu lingkungan seperti energi, hutan, laut,hingga ruang hidup komunitas adat.
“Dari berbagai pemaparan dan diskusi selama lokakarya, saya jadi semakin paham bahwa krisisiklim tidak hanya berdampak pada lingkungan atau ekosistem, tetapi juga pada manusia,kebudayaan, dan struktur sosial kita. Sebagai musisi yang hidup dan berkarya di ruang-ruangsosial dan budaya, kami pun ikut terdampak. Oleh karena itu, penting bagi kami untuk turutmerespons isu ini, karena pada akhirnya, perubahan iklim juga memengaruhi kami secaralangsung, baik sebagai individu maupun sebagai seniman,” ujar Cipoy, gitaris Sukatani.
Sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan, kegiatan ini ditutup dengan penanamanpohon di Gianyar, Bali. Inisiatif ini menjadi langkah kolektif para musisi untuk mengimbangi jejakemisi karbon yang dihasilkan dari perjalanan dan rangkaian aktivitas selama seminggu penuh.
Bagi Faiz, vokalis, gitaris sekaligus penulis lagu dari band Reality Club, pengalaman selamalokakarya ini tak hanya menginspirasi karya, tapi juga memantik refleksi personal yangmendalam. “Setelah mendapat banyak hard truth selama lokakarya, saya merasa terdoronguntuk mulai mengubah hal-hal dalam hidup saya secara perlahan tapi konsisten. Saya juga inginmembagikan kesadaran ini ke orang-orang di sekitar saya, seperti fans, teman, dan keluarga,karena penting untuk saling mengingatkan soal peran kita dalam menjaga lingkungan,” ujarnya.
Setelah lokakarya berakhir, para musisi akan menerjemahkan pengalaman dan refleksi merekaselama lokakarya ke dalam karya musik baru. Lagu-lagu ini akan dihimpun dalam sebuah albumkompilasi yang direncanakan rilis pada akhir 2025, sebagai bagian dari kampanye ‘No Music OnA Dead Planet’ atau Tak Ada Musik di Planet yang Mati yang diinisiasi oleh Music DeclaresEmergency. Gerakan global ini juga didukung oleh sejumlah musisi dunia seperti Billie Eilish,Massive Attack, dan Tame Impala, yang sama-sama meyakini bahwa musik memiliki kekuatanuntuk menyuarakan urgensi krisis iklim dengan cara yang kreatif, inklusif, dan menggugah.
InfoTentang IKLIM
Dibentuk pada tahun 2023, The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab (IKLIM)merupakan sebuah kolektif musisi dan seniman yang peduli terhadap isu iklim dan bertujuanuntuk mengajak masyarakat agar peduli dan mengarusutamakan isu krisis iklim lewat seni danmusik.
Tentang Music Declares Emergency indonesiaMusic Declares Emergency (MDE) Indonesia adalah sebuah kolektif yang terdiri dari seniman,profesional, dan individu industri musik, serta organisasi yang berkomitmen untuk melindungikehidupan di bumi.
Indonesia menjadi negara Asia pertama yang tergabung dalam gerakanglobal ini. Dengan kampanye ‘No Music On A Dead Planet’ atau Tak Ada Musik di Planet yangMati, gerakan global ini telah didukung oleh artis internasional seperti Billie Eilish, Massive Attack,Tom Morello dari Rage Against The Machine, Jarvis Cocker dari Pulp, Kevin Parker dari TameImpala, dan masih banyak lagi.***