Kinerja Keuangan Negara Dan Tata Kelola Subsidi Energi
Kinerja keuangan sejak Tahun 2014-2019 atau 5 (lima) tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo semakin memburuk dan memprihatinkan. Ditandai dengan semakin melebarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun, termasuk kinerja realisasi anggaran subsidi energi yang semakin meningkat. Defisit APBN Tahun Anggaran (T.A) 2019 telah mencapai Rp 289,1 Triliun atau 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per bulan Oktober 2019.
Sementara itu, realisasi subsidi energi pada bulan Oktober 2019 telah mencapai Rp 98,5 triliun atau 61,6% dari pagu sebesar Rp 160 Triliun. Subsidi energi terdiri dari subsidi BBM sebesar Rp 58 Triliun atau 57,7% dari pagu anggaran, dan subsidi listrik sebesar Rp 40,5 Triliun atau 68,3% dari pagu anggaran.
Sedangkan realisasi subsidi BBM dan LPG per 31 Oktober 2018 mencapai Rp 75,3 Triliun, dan nilai itu mencapai 160,7% dari pagu APBN yang hanya ditetapkan sebesar Rp 46,9 triliun. Terdapat peningkatan signifikan realisasi subsidi energi T.A. 2019 dibandingkan dengan T.A 2018 sejumlah Rp 23,2 Triliun atau sebesar 23,5 persen.
Presiden Joko Widodo pun telah berulangkali menyampaikan kekesalannya atas kinerja pembantunya di bidang ekonomi dan industri tersebut, akan tetapi anehnya (juga menggelikan) justru Menteri yang bersangkutan masih ditempatkan pada pos yang sama di Kabinet Indonesia Maju masa jabatan 2019-2024.
Terhadap kinerja keuangan negara, khususnya berkaitan dengan defisit APBN yang berkelanjutan, realisasi subsidi energi dan utang luar negeri yang semakin meningkat, maka ada beberapa hal yang perlu disampaikan.
Menyampaikan keprihatinan mendalam atas tata kelola keuangan negara yang semakin memburuk, jauh dari wujud profesionalisme maupun disiplin anggaran terhadap seseorang yang memiliki otoritas di bidang tersebut serta telah memperoleh predikat salah seorang Menteri Keuangan terbaik di dunia oleh berbagai lembaga internasional.
Kemudian, salah satu penyebab meningkatnya realisasi subsidi energi adalah semakin besarnya angka realisasi subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan elpiji yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama 15 tahun terakhir.
Peningkatan realisasi subsidi energi dengan demikian bukanlah disebabkan atau dipengaruhi oleh adanya kenaikan harga BBM dan elpiji yang semestinya ruang itu dapat diberikan kepada PT. Pertamina dan PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) Persero yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menyesuaikan harga BBM, elpiji dan listrik sebagai salah satu upaya memperbaiki kinerja realisasi subsidi energi dan BUMN yang bersangkutan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran Kementerian Keuangan pada bulan Nopember 2019 telah memaparkan realisasi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 31 Oktober 2019, dan menunjukkan kinerja Pendapatan Negara yang tak mencapai sasaran (target), yaitu pendapatan negara dan hibah hanya mencapai Rp 1.508,91 Triliun atau 69,69% dari target APBN 2019.
Realisasi penerimaan pajak per bulan Oktober 2019 baru mencapai Rp 1.018,5 Triliun atau 64,56% dari target Rp 1.577,56 Triliun di APBN 2019. Penerimaan ini walaupun tumbuh 0,23% dibanding tahun lalu, namun jauh sekali akan terealisasi di akhir Tahun 2019 ini atau meleset dari sasaran yang ditetapkan.
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun sampai dengan akhir Oktober 2019 hanya mencapai Rp 333,29 triliun atau 88,10% dari target APBN meskipun masih tumbuh sebesar 3,16% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2018, namun tetap saja jauh dari kinerja perencanaan yang diharapkan.
Sedangkan Pengeluaran Pemerintah per akhir Oktober 2019 telah mencapai Rp 1.797,97 Triliun 73,1% dari pagu APBN. Realisasi belanja ini meningkat 4,5% jika dibandingkan realisasi pada periode yang sama pada tahun 2018, artinya Menteri Keuangan tidak mampu mengendalikan rencana anggaran yang dikelolanya sendiri.
Di sisi yang lain, realisas Utang dan Pembiayaan Anggaran per bulan Oktober 2019, masing-masing utang sejumlah Rp 4.756,13 Triliun dan rasio utang ini sudah mencapai 29,87% terhadap PDB. Adapun posisi utang ini mengalami kenaikan sebesar Rp 277,56 triliun dibandingkan posisi Oktober 2019 yang tercatat sejumlah Rp 4.478,57 Triliun.
Pemerintah telah menetapkan keputusan besaran alokasi anggaran subsidi energi, diantaranya adalah alokasi subsidi BBM jenis solar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2020 sejumlah Rp 1.000 per liter.
Konsekeunsinya adalah harga BBM bisa mengalami kenaikan atau juga penurunan sangat dipengaruhi oleh harga keekonomian dunia, apabila terjadi kenaikan dan BUMN Pertamina, PGN dan PLN yang menjalankan tugas pelayanan publik sektor energi (Public Service Obligation/PSO) sesuai UU No.19 Tahun 2003 tidak diberikan ruang korporasi untuk menaikkan harga BBM dan listrik untuk KwH tertentu, maka jelas akan merugikan kinerja BUMN bersangkutan.
Dengan tidak adanya kenaikan harga keekonomian BBM dunia dalam setahun terakhir ini, dan juga tidak adanya kebijakan kenaikan harga BBM dan listrik yang diberikan kepada BUMN, maka indikasi kuat besarnya angka realisasi subsidi energi pada APBN lebih disebabkan oleh meningkatnya konsumsi alokasi untuk energi bersubsidi atau BBM subsidi.
Meningkatnya realisasi subsidi energi dan BBM pada APBN karena mekanisme penyaluran energi dan BBM subsidi tidak tepat sasaran atau tidak dipergunakan untuk kelompok sasaran yang tepat (tagetted) atau lebih disebabkan oleh mekanisme penyaluran terbuka serta adanya revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 yang sebelumnya melarang penjualan BBM penugasan di wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali), pada bulan Mei 2018 diperbolehkan untuk dperjualbelikan kembali oleh pemerintah.
Agar alokasi subsidi energi dan BBM ini dapat direncanakan dengan baik dan tepat sasaran, maka data dan pemetaan kelompok masyarakat sasaran (targetted) sebagai konsumennya harus sudah tersedia, sehingga penyalurannya dapat memperkecil penyimpangan dari kelompok sasaran.
Selain itu, mekanisme penyaluran subsidi energi dan BBM, elpiji dan listrik kepada kelompok tertentu, khususnya Rumah Tangga Miskin (RTM) harus dilakukan dengan cara yang khusus, terutama untuk BBM dan elpiji subsidi harus dipastikan tidak disamakan dengan konsumen industri atau orang yang bukan kelompok miskin.
Perlu kiranya melakukan penyaluran alokasi subsidi energi, khususnya BBM dan elpiji kepada kelompok masyarakat tertentu melalui penyalur yang diberikan penugasan khusus atau tidak diberikan kepada swasta yang sudah memperoleh izin sebagai Badan Usaha komersial, misalnya kepada Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang baru.
Disamping itu, perlu ditetapkan sangsi dan hukuman bagi setiap pihak atau badan usaha pemegang izin yang menyimpangkan atau tidak melakukan penyaluran alokasi subsidi energi yang ditempatkan pada konsumsi BBM, elpiji dan listrik kepada kelompok sasaran yang telah ditetapkan. Termasuk melakukan pengawasan dan pengendalian penyaluran dengan melibatkan aparat Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) serta pemangku kepentingan (stakeholders) energi lainnya.
Terhadap data dan fakta kinerja keuangan di atas, maka pemerintah perlu melakukan upaya-upaya subsidi dan insentif di sektor energi yang lebih terukur dan terarah. Salah satu upaya yang mendesak dilakukan adalah melalui revisi atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM yang pasal-pasalnya masih terbuka ruang interpretasi terkait badan usaha pemegang izin, mekanisme dan sasaran (target) kelompok sasaran alokasi subsidinya.
Pemerintah juga harus berupaya menstimulus perekonomian dengan tidak hanya bersandarkan pada penerimaan pajak ansich, sementara stimulus untuk membuka lapangan kerja dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan tidak dilakukan sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Menutup defisit APBN yang semakin besar terhadap PDB melalui utang luar negeri dengan menerbitkan surat utang negara adalah seperti menggali lubang tutup lubang, dan tidak akan mungkin terlepas dari jebakan utang (debt trap),akan berdampak dalam jangka panjang beresiko menjadi negara bangkrut seperti Yunani dan Venezuela (yang memberikan aneka subsidi).
Oleh karena itu, Presiden juga harus amanah memenuhi janjinya pada saat kampanye, terutama soal efisiensi dan efektifitas penyelenggaran negara melalui perampingan kabinet dan konsisten atas kebijakan bidang energi, terutama memberikan ruang aksi korporasi bagi BUMN bidang energi dalam upaya mengatasi defisit minyak dan gas bumi (migas) yang berpengaruh besar pada defisit APBN. Tanpa itu, mustahil sasaran (target) pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lebih besar dari 5 (lima) persen dapat dicapai, alih-alih defisit semakin melebar dan utang semakin besar.(*)
- Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta