Lahirkan Perokok Pemula, Peredaran Vape Kian Marak
DENPASAR– Pemerintah diminta segera membuat payung hukum yang jelas terkait peredaran rokok elektrik atau vape di kalangan remaja yang diklaim sebagai alternatif berhenti merokok yang kian marak di Bali.
Untuk itu, pemerintah daerah diminta segera membuat regulasi guna melakukan pengawasan secara ketat.
Beberapa kalangan pemerhati kesehatan melihat, penggunaan vape yang jelas mengandung zat adiksi berbahaya jika dikonsumsi justru menunjukkan tren peningkatan. Selain mulai banyak pemakainya terutama anak muda juga semakin menjamurnya toko-toko vape yang menjual rokok vape seperti di Denpasar.
“Jika diasumsikan bahwa vape sebagai upaya berhenti merokok atau pengganti rokok konvensional, kami melihat itu sebagai hal yang efektif,” terang Ketua CTCLH Universitas Udayana I Made Kerta Duana dalam temu media dan diskusi perkembangan rokok di Bali di Denpasar Jumat 3 Agustus 2018 malam.
Penggunaan rokok elektrik di satu sisi dengan liquid yang mengandung nikotin tetap saja itu menimbulkan adiksi. Sebagaimana diketahui, nikotin itu sifatnya sangat adiktif.
Ketika upaya itu dilakukan dengan cara mengkonsumi zak adiktif melalui cara yang berbeda tentu tidak akan efektif untuk menjadikan perokok itu berhenti merokok.
Kemudian, jika yang dimaksudkan sebagai solusi atau alternatif bagi mereka yang ingin berhenti merokok tersebut harus dilakukan dengan pendampingan petugas kesehatan di lembaga konseling.
Para petugas kesehatan nantinya yang akan memberikan solusi yang tepat bagi mereka yang hendak berhenti merokok. Apakah cukup dengan penuyadaran bahaya rokok dengan menunjukkan bukti yang sudah berdampak pada pasien tersebut misalnya paru-parunya sudah menurun fungsinya atau ada gejala penyakit tertentu sehingga hal itu bisa menimbulkan komitmennya.
Atau bisa disisi lain jika memang dibutuhkan, penurunan kadar nikotin secara bertahap melalui vape atau melalui replacement nikotin terapy itu harus dengan pendampingan ahlinya atau dokter.
“Jika vape dikonsumsi secara bebas oleh masyarakat, yang terjadi justru bukan upaya untuk berhenti merokok tetapi sebaliknya menjadi inisiasi bagi perokok-perokok pemula yakni anak-anak dan remaja,” tutur Duana.
Duana melanjutkan, jika melihat bagaimana vape itu dikonsumsi dengan cara-cara yang digemari anak-anak mulai rasa, aroma hingga cara nge-vape dengan permainan asap dan sebagainya yang untuk anak-anak itu menjadi sesuatu yang menyenangkan,” sambungnya.
Di sisi lain, mereka tidak memahami bahwa ada nikotin di sana yang membuat mereka akan teradiksi bahaya nikotin sehingga menciptakan ketergantungan. Pada gilirannya akan mengkonsumsi nikotin secara berkesinambungan.
Lanjut Duana, bahkan yang terjadi mereka akan menjadi perokok konvensional.
Menjadi tantangan adalah ketika produk ini beredar bebas di masyarakat tanpa ada regulasi jelas yang mengatur kendati sekarang ada pengenaan cukai pada liquidnya, hal itu tetap belum efektif untuk mengatur peredaran vape tersebut.
“Kita membutuhkan regulasi yang jelas apakah produk ini legal, kalaupun legal diatur seperti apa, pemerintah daerah harus bersikap apa, ini harus didiskusikan bersama,” tegasnya dalam diskusi yang dihadiri kalangan media pegiat kesehatan masyarakat, PHDI, LPA Bali, PHRI dan kalangan pendidikan.
Jika dilihat secara perspektif internasional seperti WHO, Balai POM, mengindikasikan tidak mendukung ketika vape dijadikan sebagai satu alternatif berhenti merokok.
Pihaknya berharap ketika ini sudah beredar di masyarakat, harus sudah ada pernyataan sikap yang jelas dari pemerintah terkait regulasi maupun pengaturannya.
Harapannya, dari sisi kesehatan, agar produk ini dilarang peredarannya karena melihat ada risiko yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Baik dari sisi pengaturan liquid karena cairannya yang mengandung nikotin konsumsinya diatur sendiri oleh pengguna atau pemakai sendiri.
Sementara di sisi lain, adanya persepsi masyarakat yang melihat bahwa vape itu bukan perokok sehingga anak-anak sangat berpotensi menjadi konsumennya. Ditambah lagi, masih ada orang tua yang melihat vape itu sebagai hal yang berbeda atau bukan merokok.
“Dari sisi konten, kami melihat itu ada konten nikotin yang sama berbahayanya dengan rokok konvensional,” imbuhnya.
Ikut menyampaikan pandangannya Ketua Perhimpunan Ahli epidemiologi dr I Gede Artawan Eka Putra dan mantan Kabid P2P Dinas Provinsi Bali dr I Gede Wira Sunetra. (zal)