‘ROOTS’ Mengingatkan Kita pada Jejak Walter Spies di Tengah Arus Perubahan Bali

0

Walter Spies, seorang pelukis Jerman kelahiran Rusia meninggalkan jejak yang jauh lebih dalam dari sekadar catatan sejarah tentang Pulau Bali.

Arsitek Popo Danes dan Seniman Made Bayak meramaikan pemutaran film ROOTS/dok.istimewa

Denpasar – Tepat satu abad silam, Walter Spies, seorang pelukis Jerman kelahiran Rusia, pertama kali menginjakkan kaki di pulau tropis Bali, Indonesia. Pulau yang awalnya hanya persinggahan itu kemudian menjadi rumahnya hingga akhir hayatnya yang tragis pada tahun 1942. Namun, Spies meninggalkan jejak yang jauh lebih dalam dari sekadar catatan sejarah.

Ia melihat Bali melampaui keindahan visual semata. Melalui lukisannya, ia memperkenalkan ketenangan Bali kepada dunia, namun kiprahnya jauh melampaui kanvas. Spies adalah seniman multidimensi: pelukis, koreografer, desainer, naturalis, fotografer, kurator, bahkan konsultan film.

Terjun dalam pusaran seni dan budaya Bali, Spies tak hanya menikmati, namun juga menyelami dan membagikan. Ia menjadi pemandu antusias bagi para pelancong, menceritakan dengan penuh semangat kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali.

Lebih dari itu, ia berkontribusi aktif dalam pelestarian kesenian tradisional pulau dewata. Dampak nyata dari dedikasinya adalah meningkatnya popularitas Bali di mata dunia. Tak berlebihan jika ia dianggap sebagai pionir penting dalam pengembangan pariwisata Bali.

Dalam ranah seni lukis, Spies bersama Rudolf Bonnet, Tjokorda Gde Agung Sukawati, dan I Gusti Nyoman Lempad mendirikan Pitamaha, sebuah persatuan seniman yang menjadi motor inovasi seni Bali modern pada era 1920-1930-an.

Pengaruh gerakan ini bahkan bertahan lintas generasi hingga kini. Pada tahun 1930-an, kolaborasinya dengan penari Bali Wayan Limbak melahirkan Tari Kecak, sebuah transformasi ritual Sanghyang yang mendunia setelah diadaptasi dari epos Ramayana.

Spies menaruh hati pada keindahan Bali dan menyadari potensi seni luar biasa yang dimiliki pulau ini. Ia mengadopsi dan mengembangkan bentuk-bentuk seni lokal. Meski gaya hidupnya sempat menimbulkan curiga di mata penjajah, ia sangat dihormati oleh masyarakat Bali.

Ketika Bali mulai dikenal luas di Barat, pariwisata seolah tumbuh seiring dengan kehadiran Spies. Ia memikat tokoh-tokoh ternama seperti Charlie Chaplin dan Vicky Baum untuk berkunjung, meletakkan fondasi bagi pariwisata massal yang kini kita kenal, dengan segala kompleksitasnya.

Kisah Spies kembali diangkat dari kelupaan oleh Michael Schindhelm melalui bukunya di tahun 2018. Kini, melalui pameran “ROOTS” dan film dokumenter, Schindhelm mempertemukan kembali Spies dengan Bali masa kini, sebuah Bali yang telah banyak berubah akibat pariwisata. Paradigma ruang telah bergeser, pembangunan masif untuk akomodasi dan fasilitas pariwisata menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya.

Film “ROOTS” hadir sebagai jembatan antara masa lalu dan kini. Schindhelm menampilkan Spies sebagai seniman Eropa yang terintegrasi dengan Bali, sambil mengupas perkembangan kontemporer pulau ini dari sudut pandangnya. Film ini secara kritis mempertanyakan arah pariwisata Bali, menyoroti isu-isu mendesak seperti degradasi lingkungan, perubahan sosial budaya, dan sejarah kelam kemanusiaan yang pernah terjadi.

Dalam risetnya tentang Spies, Schindhelm menyadari pentingnya perspektif lokal. Ia bergandengan tangan dengan seniman Bali, termasuk Agung Rai (ketua Walter Spies Society) dan I Wayan Dibia (murid terakhir Limbak), serta seniman muda lainnya.

Kolaborasi ini menjelajahi warisan Spies dan dampaknya pada Bali saat ini, mengungkap sisi terang dan gelap dari perpaduan budaya asli yang dinamis dengan tantangan pariwisata massal, polusi, dan urbanisasi.

Pameran dan film “ROOTS” adalah buah dari kolaborasi ini. Karya Made Bayak dan Gus Dark mengangkat isu-isu krusial Bali kini: pengkhianatan negara, ketahanan budaya spiritual, ancaman terhadap alam, dan tragedi 1965/66, semuanya terjalin dalam reinterpretasi sinematik kisah Walter Spies.

Pemutaran film “ROOTS”, sebagai bagian dari pameran di ARMA, akan menggema di berbagai lokasi di Bali mulai 21 Mei hingga 14 Juni 2025. Selain itu, kompetisi ulasan film bagi siswa sekolah akan turut memeriahkan acara ini.

Popo Danes, arsitek yang peduli pada tata ruang Bali, menyambut baik pemutaran film ini di Danes Art Veranda.

Baginya, “ROOTS” adalah pengingat akan perjalanan panjang Bali, sebuah evolusi yang perlu dipahami, terutama di era instan saat ini. Film ini diharapkan memicu refleksi mendalam tentang warisan masa lalu dan tantangan masa depan Bali. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *