Headlines

Analisis Defiyan Cori: Upaya Kementerian Desa Mengubah Paradigma UPK Tidak Tepat

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) akan mentransformasikan Unit Pengelola Kegiatan (UPK) eks Program Pengembangan Kecamatan/Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan menjadi Lembaga Keuangan Desa (LKD). Menurut Menteri Desa dan PDTT Abdul Halim Iskandar rencana tersebut telah dibahas dengan Ketua OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan Gubernur Jawa Timur sebagai lokasi pencanangan pendirian Lembaga Keuangan Desa (LKD) yang disampaikan dalam konferensi pers virtual dari Jawa Timur, pada Hari Rabu, tanggal 21 Oktober 2020 lalu.

Secara umum, Unit Pengelola Kegiatan (UPK) yang merupakan lembaga pengelola dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) eks PNPM di Indonesia sampai Tahun 2020 sekitar 5.300 unit. Sementara, jumlah kecamatan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2019 adalah 7.252, seharusnya jumlah UPK kurang lebih sama dengan jumlah kecamatan terdata.

Memang benar, bahwa sampai saat ini, UPK tersebut belum memiliki payung hukum yang kuat dan jelas, sementara UPK telah mengelola total dana yang masih bergulir pada Tahun 2019 sejumlah kurang lebih Rp12,7 Triliun, dengan nilai harta kekayaan (asset) berjumlah Rp594 Miliar di seluruh Indonesia, disatu sisi. Disisi yang lain, pembinaan melalui pendampingan dan pengawasan UPK tersebut tidak bisa dilakukan secara profesional, selain tidak adanya lagi program pendampingan secara langsung dan formal oleh tenaga konsultan dan fasilitator sebagaimana dahulu dilakukan oleh Pemerintah, ditambah permasalahan badan hukumnya yang belum begitu jelas.

Menteri Desa dan PDTT lalu berargumentasi, bahwa dengan adanya pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, yang di dalam pasal 177 UU tersebut menetapkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) sebagai badan hukum. Kemudian mengambil tafsir sepihak dalam menindaklanjuti diskusi bersama OJK dengan berupaya mentransformasikan UPK eks PNPM tersebut menjadi LKD dengan alasan menyelamatkan dana bergulir yang berjumlah Rp12,7 Triliun agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan warga masyarakat desa yang miskin. Benar dan tepatkah langkah atau kebijakan Kemendes dan PDTT itu dalam perspektif inisiasi PPK/PNMN sejak Tahun 1998?

Sejarah Penanggulangan Kemiskinan
Program penanggulangan kemiskinan yang isu dan permasalahan ekonomi-sosialnya telah muncul pada Tahun 1972 telah diatasi oleh Pemerintah dengan berbagai proyek dan program (crash program). Namun, penanggulangan kemiskinan yang berdasarkan pada (poverty alleviation based on community development) Pemberdayaan Masyarakat tahap inisiasinya telah mulai dilakukan melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) pada Tahun 1994 dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Dan, ketika Indonesia pada Tahun 1998 kembali mengalami krisis ekonomi dan politik, yang berdampak pada meluasnya cakupan masalah kemiskinan di wilayah Indonesia, maka Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang suatu program penanggulangan kemiskinan lebih komprehensif dengan pendekatan pembangunan partisipatif.

Dengan dasar ini pula, maka Pemerintah merancang Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan di Perdesaan (PPK) yang dimulai pada Tahun 1998. Terdapat beberapa perubahan model program penanggulangan kemiskinan yang telah lebih awal dilakukan oleh IDT dan P3DT, yaitu dari program cepat (crash program) menjadi pemberdayaan masyarakat berdasar pada komunitas (empowering based on community development).

Sistem dan mekanisme program ini juga dirancang berdasarkan keberpihakan yang lebih terseleksi dengan menggunakan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pedoman Umum (Pedum) dan Petunjuk Teknis Operasional (PTO) masing-masing program. PPK kemudian memberi akronim pada prinsip-prinsip program tersebut dengan sebutan SIKOMPAK (transparanSI, Keberpihakan pada Orang miskin, deMokrasi, Partisipasi, Akuntabilitas, dan Keberlanjutan).

Pusat pengelolaan program dalam pengambilan keputusan akhir alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) juga berbeda, yaitu di kelurahan untuk P2KP dan kecamatan bagi PPK dengan pola partisipasi dimulai dari tingkat terendah wilayah masing-masing. Ciri yang menonjol dari P2KP dan PPK sebagai program pemberdayaan masyarakat adalah pengelolaan dana BLM yang merupakan hibah dari Pemerintah ini dilakukan secara kelembagaan dengan memfasilitasi proses dan tahapan usulan pembentukan organisasi atau lembaga serta alokasi kegiatan (proyek) yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat melalui proses musyawarah di Kelurahan untuk P2KP dan Kecamatan untuk PPK, yaitu Musyawarah Antar Desa (MAD) sebagai fungsi legislasi dan Unit Pengelola Kegiatan (UPK) sebagai fungsi ekseskusi (manajemen). Inilah proses terbentuknya UPK dalam perspektif pengelolaan keuangan dana BLM yang telah dihibahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah (Pemda) pada Tahun 2014.

Pergantian atau estafet kepemimpinan pemerintahan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Joko Widodo ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan hadirnya Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagai kementerian teknis yang berfungsi mengelola program pembangunan di perdesaan. Berbeda dengan PPK dan atau PNPM, maka sasaran wilayah dan alokasi dana desa mengacu pada UU Desa ini berubah dari Kecamatan menjadi Desa serta BLM menjadi Dana Alokasi Desa atau Dana Desa yang langsung ke Pemerintahan Desa.

Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana dengan eksistensi kelembagaan PNPM yang di dalamnya terdapat UPK secara hukum pasca berakhirnya pendampingan program dan kehadiran serta posisi Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) ataupun BUMDES Bersama yang diinisiasi oleh Kementerian Desa dan PDTT dengan menerbitkan Peraturan Menteri Desa dengan menggantinya menjadi LKD?

UPK, BUMDES Dan LKD
Walaupun Mendes PDTT mengklaim pembentukan LKD merupakan aspirasi dari para pengelola UPK eks PNPM disebabkan alasan payung hukum UPK dalam situasi yang tidak jelas, bukan berarti pilihan kebijakannya dapat dibenarkan. Apalagi menggunakan istilah lembaga keuangan desa, dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, dengan kegiatan usaha LKM meliputi 3 (tiga) hal, yaitu penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, dan pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha. Mendasarkan pada UU LKM ini, justru telah mengkerdilkan peran dan fungsi kelembagaan UPK itu sendiri dengan membatasi pada perputaran dana simpan pinjam yang identik dengan pola dan mekanisme perbankan.

Selain itu, latar pembentukan organisasi, proses dan mekanisme UPK dan BUMDES yang berbeda, maka sangat tidak mungkin kedua program, meskipun memiliki tujuan yang sama dalam pembangunan desa dan masyarakat desa, namun diinisiasi dengan pendekatan yang berbeda untuk diintegrasikan. PNPM terbentuk dari, oleh dan untuk masyarakat dengan sumber dana BLM yang dihibahkan, sedangkan BUMDES dari pemerintah ke organisasi yang dibentuk oleh pemerintah desa. Dengan demikian, proses dan mekanisme PNPM yang telah mapan dan membentuk nilai kultural tersendiri harus tetap ditempatkan sesuai ide dan desain awal program sebagai penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat yang telah menginternalisasi pada masyarakat desadan antar desa (komunitas). Mendes PDTT harus memahami proses kehadiran dan pembentukan UPK ini terlebih dahulu, sebelum mengambil kebijakan yang gegabah.

Disamping itu, sebagai sebuah sistem, maka proses dan mekanisme di MAD dan UPK merupakan salah satu bagian penting dalam mewujudkan pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 untuk membangun perekonomian sebagai Usaha Bersama berdasar azas kekeluargaan (musyawarah) di tingkat desa dan kecamatan. Jika proses dan mekanisme ini diintervensi oleh kehadiran BUMDES dan atau diakuisi menjadi BUMDES Bersama dengan secara kekuasaan menjadikannya LKD , maka tindakan ini tidak saja ahistoris terhadap program, melainkan pelanggaran terhadap konstitusi. Selayaknya eksistensi MAD dan UPK harus diformulasikan dalam bentuk kebijakan yang lebih akomodatif atas keberlanjutan pemberdayaan masyarakat pasca PNPM melalui kebijakan yang tidak didasarkan pada kapitalisasi modal dana BLM yang telah dihibahkan itu.

Justru UPK yang pengelolaannya berpusat di kecamatan seharusnya menjadi induk BUMDES sebagai lembaga eksekusi dan akumulasi modal, sedangkan operasinya tetap pada masing-masing wilayah. MAD melalui UPK dapat saja mengambil keputusan membentuk kelembagaan tersendiri sesuai kearifan lokal (local contents) di luar BUMDES apabila ada usulan dari masing-masing dalam wilayah kecamatan dan menjadi keputusan bersama yang disepakati dalam Musyawarah Antar Desa (MAD). UPK, dalam konteks ini dapat menjadi embrio lembaga pembiayaan pemberdayaan masyarakat antar desa yang terap menjalankan mekanisme dan prinsip SIKOMPAK.

Kelembagaan UPK bisa saja akan berbeda di masing-masing kecamatan, walau proses, mekanisme dan prinsip-prinsip pengelolaannya tetap mengacu pada UU Desa memerlukan amandemen tersebut, atau bisa saja UPK menjadi UNIT PEMBIAYAAN KOMUNITAS. UPK ini merupakan salah satu organisasi yang sejalan dengan pelaksanaan Ekonomi Konstitusi selain Koperasi yang merupakan Usaha Bersama dengan berbasis keanggotaan. Perbedaan basis keanggotaan UPK dan Koperasi adalah, pada komunitas dan yang lainnya adalah pribadi (personal) yang membentuk kelompok atau organisasi sesuai kebutuhan atau kepentingan anggota (interest membership) atau dalam terminologi PNPM adalah Kelompok Usaha Ekonomi Produktif. Maka, inilah relevansi terbitnya payung hukum UPK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang DAPM (Perpres 2/2015). Perpres tersebut terdapat 3 (tiga) opsi payung hukum yang dapat diambil bentuknya, yaitu Koperasi, Persatuan Terbatas (PT),dan Perkumpulan Berbadan Hukum (PBH).

Pilihan amandemen UU Desa dan atau pelembagaan secara formal UPK sesuai Perpres 2/2015 itu dimungkinkan dalam kerangka untuk lebih membuka akses dan kerjasama kelembagaan secara lebih luas dengan pihak lain dalam memberdayakan masyarakat miskin antar desa untuk tujuan kemandirian desa dan pada akhirnya adalah KEMANDIRIAN EKONOMI bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang terpenting bukanlah kapitalisasi dana perguliran dari modal hibah BLM, namun tersedianya dana masyarakat yang relatif cukup dan mudah diakses dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran di desa dan antar desa/kecamatan, bukan mengubahnya menjadi lembaga kapitalisme berbentuk LKD. Ini sama saja halnya ibarat memutar kembali ujung menjadi pangkal dan sebaliknya karena masalahnya bukan hanya soal dana yang dikelola UPK ansich, melainkan juga substansi program dan konstitusi ekonomi. (*)

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi, mantan Tim Perumus PPK/PNPM, Bappenas-Ditjen PMD- Kemendagri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *