Headlines

Ekonom: Dirut Pelindo II Tak Mampu Selesaikan Masalah Sederhana

Kegiatan pelayanan pemanduan di salah satu pelabuhan terbesar di Indonesia, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta mengalami gangguan operasional. Penyebabnya adalah, pelayaan kepelabuhan di Terminal Tanjung Priok yang dikelola oleh PT Jasa Armada Indonesia (JAI) Tbk tersebut terhenti oleh aksi seluruh kru kapal mulai dari Anak Buah Kapal (ABK) hingga nakhoda kapal pandu di terminal tersebut melakukan aksi stop operasi, pada Hari Rabu (10/7/2019) di Kantor Kepanduan Pelabuhan Tanjung Priok.

Aksi stop operasi ini jelas mengganggu pelayanan pemanduan kapal-kapal yang akan masuk-keluar di Terminal paling sibuk di Indonesia dalam rangka melayani pengangkutan logistik hajat hidup orang banyak, baik yang diekspor maupun impor berbagai komponen produk-produk industri yang dibutuhkan produsen di dalam negeri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa, Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.

Sedangkan ayat 48 menyatakan bahwa Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran, dan informasi kepada Nakhoda tentang keadaan perairan setempat yang penting agar navigasi-pelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan lingkungan.

Dengan adanya aksi stop operasi oleh seluruh kru kapal pandu tersebut, maka sesuai UU No. 17 Tahun 2008 tersebut jelas akan berakibat pada kelancaran pemberian informasi, saran pemanduan kapal untuk ketertiban, kelancaran dan keselamatan kapal dan lingkungan di area pelabuhan. Dampaknya, tentu saja akan mengganggu stabilitas kegiatan perekonomian nasional mencapai pertumbuhan ekonomi dalam suatu periode, apalagi jika aksi ini sampai terjadi di pelabuhan lainnya di Indonesia.

Mengacu pada data yang dipublikasikan oleh Asosiasi Tenaga Pemanduan Kapal Indonesia (Indonesia Maritime Pilots Association/Inampa), kalau 200 kapal bisa dipandu di pelabuhan atau selat di perairan laut Indonesia bisa mengantongi pendapatan Rp1,4 Triliun per tahun atau Rp 116 Milyar per bulan dan hasil harian kurang lebih mencapai Rp 464 Juta.

Dengan adanya kegiatan aksi stop operasi oleh kru pelabuhan itu, maka tentu saja terdapat kehilangan potensi pendapatan per hari.

Pengelolaan pemanduan kapal seharusnya terus didukung dan dikembangkan oleh manajemen perusahaan serta pemangku kepentingan yangmana pemerintah telah memberikan wewenang penyelenggaraanya kepada Pelindo I, II, III, dan IV serta Institusi terkait lainnya terutama yang ada di dalam negeri maupun luar negeri.

Oleh karena itu, akar permasalahan aksi stop operasi pemanduan tersebut harus segera diselesaikan oleh manajemen PT. JAI dengan membahas secara kekeluargaan tuntutan yang disampaikan oleh para kru dimaksud. Jika hal ini tak mampu diselesaikan, maka pihak manajemen dan PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dapat dianggap melalaikan kewajiban melindungi kegiatan kepemanduan yang harus diberikan di Pelabuhan Tanjung Priok, serta Direksinya dapat dinyatakan tidak profesional.

Padahal tuntuan yang diajukan tidaklah terlalu rumit, yaitu ketidaksepakatan pekerja atas pengalihan manajemen dari PT JAI Tbk yang merupakan Anak Usaha BUMN Pelindo II kepada vendor atau swasta.

Pengalihan manajemen kepada pihak swasta ini harus diperiksa oleh Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika terdapat indikasi insider trading dan atau korupsi. Sebab, sebagaimana diketahui oleh pemangku kepentingan (stakeholders) kepemanduan dan pelabuhan, bahwa Elvyn G. Masassya sang Dirut Pelindo 2, lebih banyak “plesiran” ke luar negeri tanpa tujuan yang jelas dengan memakai fasilitas korporasi.

Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *