Kekesalan dan Keluhan Aneh Soal Impor Migas Dan Baja yang Menampar Muka Presiden Sendiri

0

Mengingatkan masalah defisit migas karena besarnya impor migad dan membanjirnya produk baja impor itu berarti mengingatkan tugas dan tanggungjawab Presiden Jokowi sendiri

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori

Presiden Joko Widodo kembali melontarkan pernyataan aneh dan menggelikan publik, kali ini di istana negara tanggal 11 Desember 2019, saat menyampaikan kekesalannya atas impor minyak dan gas bumi (migas), yang kemudian ditambahkan kali ini dengan impor baja. Anehnya adalah bahwa petmasalahan yang dikemukakannya iru merupakan tanggungjawab Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan para menteri terkait yang harus menyelesaikannya serta mencari terobosan (breakthrough) sebagai jalan keluar mengurangi impor.

Mengingatkan masalah defisit migas karena besarnya impor migad dan membanjirnya produk baja impor itu berarti mengingatkan tugas dan tanggungjawab Presiden Jokowi sendiri. Jika para menteri yang dimaksud tak melakukan kebijakan subtitusi impor dengan menekan impor migas hingga barang industri dasar seperti baja yang masih banyak diimpor semestinya itu tidak dilakukan saat menjabat di periode 2014-2019 berarti kesalahan Presiden memilih dan menempatkan menteri yang tak cakap, tapi faktanya menempatkan menteri yang tak punya kapasitas dan kompetensi itu kembali dilakukan pada periode 2019-2024. Gejala kekisruhan kabinet telah tampak ketika Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan pada tanggal 10 Desember 2019 menyampaikan bahwa PERTAMINA SUMBER KEKACAUAN.

Pertanyaannya adalah, mengapa hal itu kembali dilakukan dan juga hanya menyampaikan keluhan dan kekesalan yang sama, padahal para menterinya adalah pilihan dan pembantu Presiden sendiri, Presiden punya hak prerogatif untuk mencopotnya.

Kebutuhan migas dan baja dalam melakukan pembangunan infrastruktur dan sektor lainnya sejak awal memerintah mestinya sudah ada dalam perencanaan pembangunan pemerintah sehingga defisit migas dan baja dapat diatasi dengan kebijakan yang terencana, terarah dan tepat. Apalagi kebutuhan baja yang sejumlah 9 juta ton per tahun namun baru bisa terpenuhi 60% dari industri dalam negeri sudah diketahui datanya, lalu apa kerja menteri terkait selama ini?

Jenis bahan baku yang besar angka impornya adalah besi baja sejumlah US$ 8,6 Milyar, dan industri petrokimia US$ 4,9 Milyar tersebut seharusnya dapat dipenuhi BUMN PT. Krakatau Steel, PT. Petrokimia Gresik dan PT. Pertamina. Mengapa ini tak terjadi dan dilakukan oleh para menteri pada masa jabatan Presiden di periode 2014-2019, termasuk melakukan pengembagan industri substitusi impor?

Sebagaimana diketahui publik, kinerja keuangan sejak Tahun 2014-2019 atau 5 (lima) tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo semakin memburuk dan memprihatinkan. Ditandai dengan semakin melebarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun, termasuk kinerja realisasi anggaran subsidi energi yang semakin meningkat. Defisit APBN Tahun Anggaran (T.A) 2019 telah mencapai Rp 289,1 Triliun atau 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per bulan Oktober 2019.

Sementara itu, realisasi subsidi energi pada bulan Oktober 2019 telah mencapai Rp 98,5 triliun atau 61,6% dari pagu sebesar Rp 160 Triliun. Subsidi energi terdiri dari subsidi BBM sebesar Rp 58 Triliun atau 57,7% dari pagu anggaran, dan subsidi listrik sebesar Rp 40,5 Triliun atau 68,3% dari pagu anggaran.
Sedangkan realisasi subsidi BBM dan LPG per 31 Oktober 2018 mencapai Rp 75,3 Triliun, dan nilai itu mencapai 160,7% dari pagu APBN yang hanya ditetapkan sebesar Rp 46,9 triliun. Terdapat peningkatan signifikan realisasi subsidi energi T.A. 2019 dibandingkan dengan T.A 2018 sejumlah Rp 23,2 Triliun atau sebesar 23,5 persen.

Defisit neraca perdagangan sektor migas membengkak 429,9% menjadi US$ 755,1 juta pada Agustus 2019 dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 142,5 Juta. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut ekspor migas turun 45,5% menjadi US$ 875,4 Juta dari bulan sebelumnya US$ 1,6 Milyar. Sementara itu, impor migas pada Agustus 2019 sebesar US$ 1,6 Milyar, turun 6,7% dari Juli 2019 yang sebesar US$ 1,7 Milyar.

Presiden Joko Widodo pun telah berulangkali menyampaikan kekesalannya atas kinerja pembantunya di bidang ekonomi dan industri tersebut, akan tetapi anehnya (juga menggelikan) justru para menteri yang bersangkutan masih ditempatkan pada pos yang sama di Kabinet Indonesia Maju masa jabatan 2019-2024.

Terhadap kinerja keuangan negara, khususnya berkaitan dengan defisit APBN yang berkelanjutan, realisasi subsidi energi dan utang luar negeri yang semakin meningkat, maka kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut.

Menyampaikan keprihatinan mendalam atas tata kelola keuangan dan industri negara yang semakin memburuk, jauh dari wujud kemandirian ekonomi, profesionalisme maupun disiplin anggaran terhadap seseorang yang memiliki otoritas di bidang tersebut serta telah memperoleh predikat salah seorang Menteri Keuangan terbaik di dunia oleh berbagai lembaga internasional.

Salah satu penyebab meningkatnya realisasi subsidi energi adalah semakin besarnya angka realisasi subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan elpiji yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama 15 tahun terakhir.

Peningkatan realisasi subsidi energi dengan demikian bukanlah disebabkan atau dipengaruhi oleh adanya kenaikan harga BBM dan elpiji yang semestinya ruang itu dapat diberikan kepada PT. Pertamina dan PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) Persero yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menyesuaikan harga BBM, elpiji dan listrik sebagai salah satu upaya memperbaiki kinerja realisasi subsidi energi dan BUMN yang bersangkutan, namun kebijakan itu tak dilakukan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran Kementerian Keuangan pada bulan Nopember 2019 telah memaparkan realisasi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 31 Oktober 2019, dan menunjukkan kinerja Pendapatan Negara yang tak mencapai sasaran (target), yaitu pendapatan negara dan hibah hanya mencapai Rp 1.508,91 Triliun atau 69,69% dari target APBN 2019.

Realisasi penerimaan pajak per bulan Oktober 2019 baru mencapai Rp 1.018,5 Triliun atau 64,56% dari target Rp 1.577,56 Triliun di APBN 2019. Penerimaan ini walaupun tumbuh 0,23% dibanding tahun lalu, namun jauh sekali akan terealisasi di akhir Tahun 2019 ini atau meleset dari sasaran yang ditetapkan.

Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun sampai dengan akhir Oktober 2019 hanya mencapai Rp 333,29 triliun atau 88,10% dari target APBN meskipun masih tumbuh sebesar 3,16% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2018, namun tetap saja jauh dari kinerja perencanaan yang diharapkan.

Sedangkan Pengeluaran Pemerintah per akhir Oktober 2019 telah mencapai Rp 1.797,97 Triliun 73,1% dari pagu APBN. Realisasi belanja ini meningkat 4,5% jika dibandingkan realisasi pada periode yang sama pada tahun 2018, artinya Menteri Keuangan tidak mampu mengendalikan rencana anggaran yang dikelolanya sendiri.

Di sisi yang lain, realisas Utang dan Pembiayaan Anggaran per bulan Oktober 2019, masing-masing utang sejumlah Rp 4.756,13 Triliun dan rasio utang ini sudah mencapai 29,87% terhadap PDB. Adapun posisi utang ini mengalami kenaikan sebesar Rp 277,56 triliun dibandingkan posisi Oktober 2019 yang tercatat sejumlah Rp 4.478,57 Triliun.

Pemerintah telah menetapkan keputusan besaran alokasi anggaran subsidi energi, diantaranya adalah alokasi subsidi BBM jenis solar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2020 sejumlah Rp 1.000 per liter. Konsekeunsinya adalah harga BBM bisa mengalami kenaikan atau juga penurunan sangat dipengaruhi oleh harga keekonomian dunia, apabila terjadi kenaikan dan BUMN Pertamina, PGN dan PLN yang menjalankan tugas pelayanan publik sektor energi (Public Service Obligation/PSO) sesuai UU No.19 Tahun 2003 tidak diberikan ruang korporasi untuk menaikkan harga BBM dan listrik untuk KwH tertentu, maka jelas akan merugikan kinerja BUMN bersangkutan.

Dengan tidak adanya kenaikan harga keekonomian BBM dunia dalam setahun terakhir ini, dan juga tidak adanya kebijakan kenaikan harga BBM dan listrik yang diberikan kepada BUMN, maka indikasi kuat besarnya angka realisasi subsidi energi pada APBN lebih disebabkan oleh meningkatnya konsumsi alokasi untuk energi bersubsidi atau BBM subsidi.

Meningkatnya realisasi subsidi energi dan BBM pada APBN karena mekanisme penyaluran energi dan BBM subsidi tidak tepat sasaran atau tidak dipergunakan untuk kelompok sasaran yang tepat (tagetted) atau lebih disebabkan oleh mekanisme penyaluran terbuka serta adanya revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 yang sebelumnya melarang penjualan BBM penugasan di wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali), pada bulan Mei 2018 diperbolehkan untuk dperjualbelikan kembali oleh pemerintah.

Agar alokasi subsidi energi dan BBM ini dapat direncanakan dengan baik dan tepat sasaran, maka data dan pemetaan kelompok masyarakat sasaran (targetted) sebagai konsumennya harus sudah tersedia, sehingga penyalurannya dapat memperkecil penyimpangan dari kelompok sasaran.

Selain itu, mekanisme penyaluran subsidi energi dan BBM, elpiji dan listrik kepada kelompok tertentu, khususnya Rumah Tangga Miskin (RTM) harus dilakukan dengan cara yang khusus, terutama untuk BBM dan elpiji subsidi harus dipastikan tidak disamakan dengan konsumen industri atau orang yang bukan kelompok miskin.

Perlu kiranya melakukan penyaluran alokasi subsidi energi, khususnya BBM dan elpiji kepada kelompok masyarakat tertentu melalui penyalur yang diberikan penugasan khusus atau tidak diberikan kepada swasta yang sudah memperoleh izin sebagai Badan Usaha komersial, misalnya kepada Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang baru sehingga mampu menggerakkan roda perekonomian untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi lebih baik dari 5% per tahun.

Disamping itu, perlu ditetapkan sangsi dan hukuman bagi setiap pihak atau badan usaha pemegang izin yang menyimpangkan atau tidak melakukan penyaluran alokasi subsidi energi yang ditempatkan pada konsumsi BBM, elpiji dan listrik kepada kelompok sasaran yang telah ditetapkan. Termasuk melakukan pengawasan dan pengendalian penyaluran dengan melibatkan aparat Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) serta pemangku kepentingan (stakeholders) energi lainnya.

Terhadap data dan fakta kinerja keuangan dan industri di atas, maka pemerintah perlu melakukan upaya-upaya subsidi dan insentif di sektor energi yang lebih terukur dan terarah serta menggerakkan sektor riil dengan melakukan kebijakan pemihakan (affitmative policy) secara sungguh-sungguh. Salah satu upaya yang mendesak dilakukan adalah melalui revisi atas berbagai peraturan dan per-Undang-Undangan yang tumpang tindih, termasuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM yang pasal-pasalnya masih terbuka ruang interpretasi terkait badan usaha pemegang izin, mekanisme dan sasaran (target) kelompok sasaran alokasi subsidinya.

Pemerintah juga harus berupaya menstimulus perekonomian dengan tidak hanya bersandarkan pada penerimaan pajak ansich, sementara stimulus untuk membuka lapangan kerja dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan tidak dilakukan sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Menutup defisit APBN yang semakin besar terhadap PDB melalui utang luar negeri dengan menerbitkan surat utang negara adalah seperti menggali lubang tutup lubang, dan tidak akan mungkin terlepas dari jebakan utang (debt trap),akan berdampak dalam jangka panjang beresiko menjadi negara bangkrut seperti Yunani dan Venezuela (yang memberikan aneka subsidi).

Oleh karena itu, Presiden juga harus amanah memenuhi janjinya pada saat kampanye, terutama soal efisiensi dan efektifitas penyelenggaran negara melalui perampingan kabinet dan konsisten atas kebijakan bidang energi, terutama memberikan ruang aksi korporasi bagi BUMN bidang energi dalam upaya mengatasi defisit minyak dan gas bumi (migas) yang berpengaruh besar pada defisit APBN. Tanpa itu, mustahil sasaran (target) pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lebih besar dari 5 (lima) persen dapat dicapai, alih-alih defisit semakin melebar dan utang semakin besar.

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *