Bijak di Media Sosial Agar Terhindar Jeratan UU ITE
Jayapura – Perkembangan sosial media akhir-akhir ini semakin berkembang pesat. Terutama sejak pandemi yang telah terjadi selama satu tahun terakhir, memaksa semua orang untuk bekerja dan mengakses internet dari rumah, membuat pertumbuhan sosial media semakin meningkat. Perkembangan sosial media secara tidak langsung telah berdampak pada tatanan perilaku manusia itu sendiri. Baik secara sarana informasi maupun eksistensi.
Sosial media saat ini menjadi tempat menumpahkan segala aktivitas, baik menyenangkan maupun tidak mengenakkan sekalipun. Tak jarang, banyak pengguna yang mengesampingkan etika dalam menggunakan sosial media. Adapun dasar dari etika berkomunikasi yang baik adalah dengan menggunakan kata-kata sopan, tidak memprovokasi, ataupun menebar kebencian serta kebohongan.
Hal inilah yang disampaikan oleh Rendy Doroii Herison (Digital Communication Consultant) dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kota Jayapura, Papua, Kamis (24/6/2021). Bagaimana etika bersosial media, apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
Rendy mengatakan, dengan adanya sosial media, penyampaian informasi kian bergeser. “Ketika dulu media konvensional seperti majalah, koran dan radio dan ada pejabat publik yang bicara atau artis, informasi yang tersampaikan adalah satu arah. Tetapi saat ini, kita sebagai netizen bisa menjadi sumber informasinya,” kata dia membuka sesi webinar.
Dijelaskan lebih lanjut, ketika dahulu informasi yang disajikan oleh media konvensional tidak ada feedback langsung, ketika ada sosial media, informasi tersebut tergantung netizen. “Netizen saat ini berperan sebagai semuanya. Jadi wartawannya, fotografernya, editornya, bahkan penerbitnya,” papar Rendy.
“Sosial media jika digunakan dengan benar dapat membawa hal positif. Sebaliknya jika digunakan tidak benar membawa dampak buruk atau bencana,” sambungnya lagi.
Dia menuturkan, pembicaraan netizen ataupun komentar yang dituangkan pada kolom sosial media seorang artis, saat ini bisa menjadi bahan berita bagi media. Sekalipun hal tersebut bisa menjadi boomerang karena mengacu pada UU ITE yang berlaku.
Dikatakan lebih lanjut, UU ITE itu sendiri dahulu kala dibuat untuk melindungi transaksi elektronik serta transaksi secara online atau e-commerce juga perlindungan perbankan. Namun saat ini UU ITE bisa digunakan untuk menjerat berbagai komentar negatif di sosial media atas asas pencemaran nama baik.
Lalu apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sosial media? Menurut Rendy, hal yang boleh dilakukan adalah sabar serta menjaga emosi melihat postingan yang ada di sosial media. Jangan ikut terpancing komentar netizen lain. Menghindari debat berkepanjangan, menyajikan informasi menarik tanpa unsur SARA, atau mengklarifikasi isu sesuai data dan fakta.
“Sosial media ada baiknya diisi oleh hasl positif agar bisa membawa manfaat. Tularkan hal positif, ketimbang negatif.
Hal serupa juga dikatakan oleh Adhy Basto sebagai Key Opinion Leader dalam webinar tersebut. Adhy mengatakan bijak menggunakan sosial media untuk hal positif dan sesuai ketertarikan minat. Jangan terlalu mengikuti tren yang sebetulnya tidak dikuasai hanya semata-mata ingin viral.
“Jangan ikut-ikutan sesuatu yang viral namun tidak kita sukai. Sekalipun konten yang kita buat itu biasa-biasa saja, tetapi kalau ditata dengan baik ya akan menjadi ciri khas,” sambungnya.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Siberkreasi di wilayah Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (24/6/2021) juga menghadirkan pembicara lain yakni Ruhut Marhata (Legal Counsel Advance AI), Septinus George Saa (Intelektual Media Papua), Charles Toto (Profesional Chef), dan Eryvia Maronie (Key Opinion Leader).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.